Kesetaraan Kesempatan; Mewujudkan Demokrasi Yang Substantif
Oleh Hasanuddin
Ketua Umum PBHMI 2003-2005/Pengamat Politik
Nampaknya, praktek machiavellianisme masih digunakan Jokowi dalam mempertahankan kekuasaan. Menghalalkan segala macam cara, untuk menghambat laju Bakal Calon Presiden yang berpotensi memenangkan Pilpres 2024, yang bukan dari klan politiknya.
Hal demikian kita bisa ketahui dari hilirisasi cawe-cawe yang terus dilakukan Presiden Jokowi, yang nampak dari prilaku intimidatif aparat negara terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat membantu para relawan yang mendukung gerak langkah politik Bakal Calon Presiden Anies Baswedan yang berpasangan dengan Bakal Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar (Amin). Adalah Anies Baswedan yang menyampaikan keprihatinannya bahwa telah terjadi intimidasi terhadap sejumlah pengusaha yang memberikan dukungan bagi relawan-relawannya. Ia menyebut perusahaan para pengusaha itu didatangi petugas pajak pasca mereka bertemu para relawan Anies Baswedan.
Kami sebelum menurunkan catatan ini sempat bertemu sejumlah pihak, dan berdiskusi perihal yang disampaikan diatas. Dan rupanya gejala seperti itu, banyak di alami oleh pengusaha yang mencoba mengambil peran terlibat memberikan bantuan kepada para relawan. Para pengusaha ini bukanlah konglomerat, mereka hanya pengusaha menengah ke bawah. Partisipasi mereka juga tidaklah besar dari sisi angka. Mereka kadang hanya membantu mencetak spanduk, mengadakan baju kaos dan sejenisnya yang nilainya tidak sampai puluhan apalagi ratusan milyar. Dan itu semua masih dalam batas-batas yang memang telah di atur dalam ketentuan perundang-undangan sebagai bentuk partisipasi publik dalam menyukseskan perhelatan pesta demokrasi lima tahunan. Biasa saja dan legal.
Bentuk-bentuk intimidasi yang mengarah kepada kriminalisasi ini tentu bertujuan menciptakan ketakutan-ketakutan bagi berbagai kalangan agar mereka jangan memberikan bantuan kepada kubu yang tidak sejalan atau menjadi lawan dari figur yang sedang diendors Jokowi pada pilpres mendatang.
Apa yang nampak di hilir itu, sesungguhnya jauh lebih fundamental. Praktek penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan aparat negara yang semestinya netral oleh penguasa, dimungkinkan karena rusaknya mentalitas aparat itu sendiri. Penguasa dengan mudah memanfaatkan oknum-oknum aparatur sipil negara itu, untuk kepentingan hilirasasi politik kekuasaan, di karenakan mereka memiliki record yang buruk. Mereka tidak ingin catatan buruk mereka itu membuat mereka kehilangan jabatan, dan atau terhambat dalam karir birokrasi mereka. Lebih jauh ini terkait dengan “industri hukum” yang pernah di sinyalir oleh Prof. Mahfud MD. Menkopolhukam itu pernah mengatakan bahwa hukum di negeri kita telah berubah fungsi menjadi sebuah “industri”. Pasal-pasal bisa di atur, bisa di pesan, bisa di setel untuk tujuan-tujuan meraih keuntungan materiil, dan tentu saja di saat momen politik seperti Pilpres ini, peluang memperoleh keuntungan materil dengan memanfaatkan industri hukum ini sangat-sangat terbuka.
Idealnya, dalam pesta demokrasi yang berkeadilan, berkeadaban ada kesetaraan kesempatan bagi semua stakeholder yang terlibat. Para stakeholder itu mestinya menikmati kebebasan yang setara dalam mengartikulasikan hak-hak politik mereka sebagai pemegang kedaulatan. Pengusaha boleh berpartisipasi membantu Bacapres mana saja yang sesuai nurani mereka. Dan mereka mestinya tidak di intimidasi dan apalagi di kriminalisasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak kasus lama yang sedang dibuka kembali oleh aparat. Seperti kasus di Pertamina, yang telah menetapkan eks Dirut Pertamina sebagai tersangka, ada kasus Tol MBZ, yang juga telah menetapkan sejumlah tersangka; kasus “durian” di kementrian transmigrasi dan seterusnya. Jika kasus-kasus tersebut di telaah secara mendalam, akan memunculkan pertanyaan politik hukum yang tidak terhindarkan. Misalnya dalam kasus Karen Agustiawan pada case impor LNG. Pertanyaan politik hukumnya adalah siapa sesungguhnya yang sedang dijadikan target operasi, Dahlan Iskan kah? Hairul Tanjung kah, atau sekalian SBY kah? Tentu kita tidak bisa menjawab secara pasti. Namun kita bisa lagi mengajukan pertanyaan politik hukum; kenapa kasus 2013 itu baru diproses menjelang Pilpres! Apakah kasus tersebut berkonstribusi terhadap bubarnya koalisi perubahan di tandai dengan hengkangnya Partai Demokrat? Kami tidak punya jawaban atas pertanyaan yang tersedia itu. Lalu kasus Tol MBZ ini juga menimbulkan tanda tanya besar. Karena jika kasus itu terkait dengan urusan manipulasi atau rekayasa saat tender proyek itu dilakukan, maka tentunya semua tender proyek tol mesti di asumsikan telah terjadi rekayasa saat tender di lakukan. Lalu kenapa proyek itu saja yang diproses. Kenapa tidak semua tender jalan tol di proses hukum dengan asumsi ada rekaya saat tender di lakukan.
Wal hasil, hilirisasi cawe-cawe Jokowi ini, nampak begitu transparan berkelindan dengan politik hukum dan politik ekonomi. Tidak terkecuali dengan penunjukan Aguan memimpin proyek IKN, atau tidak terkecuali dengan proyek Rempang Eco City yang menjadi pusat perhatian publik dewasa ini. Semua itu erat hubungannya dengan politik hukum, yang berkelindan dengan politik ekonomi, yang hilirasasinya kita bisa saksikan bersama demikian vulgar.
Maka beralasan jika publik politik, para pengamat para pemain melihat pernyataan Jokowi tentang “jeroan” parpol berdasarkan laporan intelijen juga merupakan bagian dari hilirisasi politik machiavelli dari Jokowi. Untuk siapa dan buat apa semua itu dilakukan? Jawaban yang paling dekat dari berbagai alternatif yang tersedia atas pertanyaan tersebut tiada lain, adalah untuk politik dynasti semata. Selanjutnya para pembaca di persilahkan mengamatinya sendiri.
Terlepas dari cawe-cawe politik yang dilakukan Jokowi untuk kelanggengan dinasti politiknya itu, penting untuk sebagai penutup catatan ini kami kemukakan bahwa bangsa Indonesia yang besar ini tidak bisa di titipkan kepada para penganut politik dinasti. Kita mesti fokus kepada tujuan bernegara yang telah diamanatkan dalam Konstitusi kita. Dan untuk keperluan itu kita memerlukan demokrasi yang substantif. Bukan sebatas prosedur demokrasi.