Image By freepik
Image By freepik

Grand Corruption di Indonesia

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Agus Rahardjo, eks ketua KPK, menjadi trending topic dalam mesin pencarian google saat ini. Agus kemarin membocorkan pembicaraan dia dengan Jokowi tentang kasus korupsi E-KTP Setya Novanto beberapa tahun lalu. Menurutnya Jokowi memanggilnya ke istana negara, dia masuk lewat pintu Masjid, lalu Jokowi marah dan meminta dia untuk tidak mengusut kasus korupsi Novanto, pada pertemuan itu. Namun, dia tidak bisa merubah posisi pertersangkaan Novanto, karena UU KPK sebelum revisi 2019, setelah “sprindik” dikeluarkan, maka kasus tidak bisa dihentikan, bahkan oleh presiden sekalipun.
Entah angin apa yang berhembus merubah Agus yang berusaha menyembunyikan pembicaraan tersebut bertahun-tahun. Namun, dalam keterangan yang dapat dilihat diberbagai media, Agus kecewa dengan situasi KPK saat ini, di mana ketua KPK menjadi tersangka pemerasan dan itu terjadi setelah UU KPK di revisi tahun 2019. Agus yakin pertemuan dia dengan Jokowi dulu, sebagaimana disebutkan di atas, membuat sebab terjadinya revisi UU KPK, agar KPK bisa dikendalikan oleh pimpinan eksekutif.
Pembicaraan Agus dan Jokowi yang disebutkan Agus itu telah dibantah juru bicara istana, sebagai klaim sepihak. Namun, menko polhukam Mahfud MD memberi pernyataan netral, yakni tidak membantah, melainkan mengatakan yang tahu itu hanya Agus dan Tuhan. Pernyataan netral dari Menko Polhukam RI, memberi peluang kepada publik (spekulatif) untuk menilai berdasarkan keyakinan mereka, apakah lebih percaya pada Jokowi atau Agus Rahardjo. Di sini rekam jejak keduanya menjadi penting.
Sesungguhnya soal pernyataan Agus ini hanyalah pemoles dari kondisi struktural yang sudah terjadi. Pada tahun 2022, indeks persepsi korupsi (ipk) kita berada pada angka 34. Menurut katadata.co.id, 2/2/23, angka ini membuat Indonesia terpuruk no.6 di Asean, bahkan di bawah Vietnam (42) dan Timor Leste (42) atau Malaysia (47) dan Singapura (83). Negara-negara eropa kebanyakan mencapai angka 70 an sampai 80 an, sebagai ukuran anti korupsi terbaik.
Buruknya IPK juga dibawah rata-rata angka dunia pada angka 43 tahun 2022. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam rilisnya 16/3/23 menyebutkan, “Berdasarkan data Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk tahun 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari tahun sebelumnya dan merupakan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015.”
Saat ini sudah masuk bulan Desember. Kita melihat berbagai korupsi besar terjadi sepanjang tahun, seperti kasus pencucian uang Rp. 349 Triliun di Bea Cukai, kasus korupsi BTS Kominfo sebesar 80% dari anggarannya, atau Rp 8 Triliun, korupsi jalan Tol Pangeran MBZ dll. Kasus mafia peradilan yang melibatkan hakim-hakim agung. Kasus yang melibatkan pimpinan BPK-RI. Dan banyak lainnya yang berskala menggemparkan, termasuk kelakuan Ketua KPK Firli dalam kasus pemerasan tersangka koruptor.
Di luar urusan korupsi, baru-baru ini dalam kasus usia pencawapresan Gibran, rakyat mempersepsikan terjadi kolusi dan nepotisme penyelenggara negara. Berbagai pihak melaporkan hal tersebut ke KPK sebagai praktek KKN.
Boleh jadi, pada bulan Januari 2024, Transparansi Internasional akan mengeluarkan angka Indeks persepsi Indonesia setara dengan negara-negara gagal, seperti Afganistan, Suriah, Myanmar dan lainnya. Alias Indonesia sebagai negara gagal (failed state).
Grand Corruption
Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi adalah “We define corruption as the abuse of entrusted power for private gain.” Sebuah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Dalam Anne Maria Lynda Boisvert  dkk., “Corruption in Canada: definition and enforcement/by Deloitte LLP”, 2014, pendefinisian korupsi ini dikembangkan menjadi antara lain mencakup “Grand corruption, Systematic Corruption, dan State Capture Corruption”. Istila Grand Corruption dan dua lainnya di atas menunjukkan keterlibatan aktor politik elit, baik legislatif maupun eksekutif; melibatkan persekongkolan jahat antara pengusaha dan penguasa; serta dilakukan secara sistematis untuk menciptakan keuntungan pribadi atau kelompok, tanpa menghiraukan kepentingan nasional.
Selama era Jokowi berkuasa kita menyaksikan bahwa korupsi telah masuk pada definisi grand corruption tersebut. Bukan saja suap menyuap alamiah berbasis katagori “supply-demand” yang konvensional, namun korupsi benar-benar dilakukan secara sistematis untuk melumpuhkan fungsi negara. Sebagaimana teori yang berkembang dalam kajian korupsi, biasanya negara-negara korup ditandai dengan kekerasan sosial, berkembangnya kekuasaan mafia, dan hilangnya demokrasi.
Jokowi Dicintai Rakyat?
Meskipun soal korupsi ini terjadi di era kepemimpinan Jokowi, survei-survei selalu menempatkan Jokowi dalam kepuasan publik yang tinggi. Ini dapat  dimaknai, jika asumsi survei tersebut dilakukan sungguh-sungguh, bahwa korupsi pada pemerintah Jokowi telah di atasi Jokowi dengan melaksanakan penghukuman atas pejabat koruptor. Artinya, masyarakat melihat tanggung jawab Jokowi sebagai presiden telah dia jalankan.
Namun, di negara-negara maju dan beradab, persoalan korupsi, seperti menurunnya indeks persepsi korupsi secara tajam, dianggap sebagai tanggung jawab pemerintahan secara keseluruhan. Tanggung jawab secara nasional artinya berpusat pada pemimpin negeri tersebut, yakni presiden mereka. Ini dengan asumsi presiden tersebut tidak terlibat dalam menghambat korupsi, melakukan praktek nepotisme apalagi melakukan korupsi itu sendiri.
Di Indonesia, apabila tanggung jawab yang bersifat konsekuensi, seperti dijelaskan di atas tidak terjadi, maka bangsa kita pastinya mengalami kehancuran budaya, yakni permisif dengan budaya korup, kolusi dan nepotisme. Ini menjadi tantangan besar ke depan.
Gemparnya pengakuan Agus Rahardjo bahwa Jokowi marah dan minta perkara mega korupsi Setya Novanto beberapa tahun lalu merupakan celah untuk melawan hasil-hasil survei kepuasan pada Jokowi. Sebab, jika rakyat lebih percaya pada Agus Rahardjo ketimbang Jokowi, dalam hal integritas, maka tingkat kepuasan rakyat pada Jokowi akan berubah. Integritas Jokowi sebagai pribadi dan sebagai presiden akan diukur rakyat seperti di negara-negara maju, yakni tidak mungkin IPK rendah namun presidennya dipercaya dalam skala yang sangat besar.
Kita masih akan melihat sejauh apa pernyataan mantan ketua KPK Agus Rahardjo ini membuat perubahan persepsi publik. Apalagi jika pengakuan-pengakuan seperti yang dilakukan Agus Rahardjo memicu gerakan “me too” alias dilakukan banyak mantan elit negara lainnya, melakukan testimoni, khususnya Firli Bahuri, jika dia berani.
Penutup
Agus Rahardjo, eks ketua KPK, telah menjadi tranding topic dalam mesin pencarian google saat ini. Agus membuka percakapan dia dengan Jokowi, di mana Jokowi meminta dia menggagalkan pentersangkaan koruptor Setya Novanto, beberapa tahun lalu. Jubir istana membantah, namun Menko Polhukam Mahfud MD bersikap netral atas pengakuan Agus tersebut.
Tantangan penghancuran korupsi dan para koruptor di Indonesia mengalami degradasi. Indonesia gagal memberantas korupsi di era kepemimpinan Jokowi. Menurut BPHN-RI, angka indeks persepsi korupsi 34 saat ini merupakan terburuk sejak 2015. Jika rakyat percaya Jokowi melalui survei kepuasan publik sebesar 70-80%, maka situasi korupsi di Indonesia dianggap tidak masalah dengan kepemimpinan Jokowi.
Persoalannya benarkah kepemimpinan nasional dan indeks korupsi tidak berhubungan? Atau survei-survei tersebut tidak kredibel?
Hal ini sangat terkait nantinya dengan testimoni Agus Rahardjo. Agus bisa jadi benar namun bisa juga salah, karena, merujuk Mahfud MD, hanya dia dan Tuhan yang tahu soal pembicaraan dia dengan Jokowi. Namun, ini sebuah celah bagi elit nasional melakukan gerakan seperti Agus Rahardjo, untuk memastikan bekerjanya akal sehat, bahwa indeks persepsi korupsi yang sangat rendah pasti terkait dengan Grand Korupsi, di mana kepemimpinan nasional menjadi bagian penting  di sana.