Warung Kopi Bersajak

Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni-penulis

Sajak ini berkisah tentang dua sahabat anak manusia berbeda pandangan hidup. Masing-masing memiliki persepsi mengejawantahkan kehidupan duniawi. Mencoba menepis undang-undang akhirat, mendadak seolah-olah menjadi tak penting, menurut salah satu di antara kedua anak manusia tersebut.

Namun sesungguhnya kedua anak manusia itu tengah berdiri di persimpangan jalan keraguan. Semoga mereka tidak saling berperang.

Cerita sederhana macam ini, misalnya, bisa ditemukan dalam wiracarita tradisi, antara lain versi Wayang Purwa.; Pandawa versus Kurawa, sebagaimana tertulis dalam epos Mahabharata, membuncah perang Bharatayudha, sesungguhnya tak di kehendaki kehidupan semesta jiwa berbudi.

Namun ambisi salah satu dari sifat dasar manusia, ketika libido menggoda birahi adigang adigung, maka pilihan kembali pada pemilik nurani kemanusiaannya.

Hamba pribadi bangga, kagum, pada NKRI Pancasila. Alhamdulillah Ya Allah atas segala kemuliaan berkat-Mu, suburlah tanah lahirku.

Ya Allah, musnahkanlah kezoliman kaum manipulator dari negeri hamba. Amin.

**

Adikara Sangga Buana.

Membaca, bukan mengeja ihwal aksara. Siapa memberi suara, lalu kau mampu menyebut nama dirimu, mengetahui nama-nama hari.

Fitrah. Apakah sudah benar membaca tanpa mengeja fitrah atau sebaliknya, tak peduli pada fitrah setelah pintar membaca tak lagi mengeja.

Siapa memahami awal mula matahari naik sepenggalah sebelum fajar kizib. Apakah kau atau aku. Acungkan tangan kalau berani.

Katakan dengan lantang pada semesta bahwa kau manusia maha tahu ihwal matahari naik sepenggalah. Katakan itu kepada Sang Pencipta. Kau berani?

Aku, tidak berani. Aku, ciptaan-Nya. Aku mati ketika kehendak-Nya, juga segala siklus lapis semesta punah pada waktu telah ditentukan-Nya.

Aku percaya. Semesta sirna pada saatnya kelak seperti ketentuan-Nya.

Kalau kau tak percaya semesta sirna pada saatnya kelak. Katakan hal itu pada Sang Pencipta, itupun kalau kau berani. Selagi kau di puncak menara ha.ha.ha.

Rudal jelajah menghancurkan benua tampaknya memperoleh kemenangan. Puas memuja materialisme, seperti kau berhalakan pandir mu.

Akupun pandir. Ayo! Saling menguji. Siapa lebih pandir. Kau atau aku. Kau angkuh memuja materialisme. Aku, berupaya belajar bersyukur.

Aku percaya pada hari akhir kelak adab zaman semesta akan punah.

Kau tidak percaya jagat raya akan musnah. Karena kau asyik memuja menara berhala materialisme keangkuhanmu

Tak apa, hidup berjalan semestinya, wajib selalu menguji siklus nurani,
makan banyak atau sedikit silakan, “karena hidup harus memilih.”

Nah itu bahasa klise-isme. Sebatas itu nalarmu. Dangkal amat sih. Kau, bukan penguasa semesta, tapi kau hendak menjadi tuhan baru.

Senyumanmu. Jawaban parodi hati penciptaan sangkar risalah perangkap. Kalau boleh memilih. Aku, memilih belajar tafakur.

*

Jakarta Satu, Desember 07, 2023.
Salam NKRI-Pancasila bening nurani.