kompas.id
kompas.id

Anatomi Kecurangan Pemilu

Oleh: Dr Gede Moenanto Soekowati
Dewan penasehat CSI, pakar strategi dan analis politik komunikasi media

Saat kampanye di zaman Orde Baru, misalnya kampanye yang dilakukan oleh PPP dan PDI hampir selalu dipenuhi masyarakat.

Ikon seperti Rhoma Irama selalu menjadi magnet untuk PPP.
Demikian juga ikon yang ada di PDI yang terkait dengan kekuatan sosok Soekarno.

Nilai jual PPP dengan gambar Ka’bah dan PDI yang mengusung wong cilik memang menjadi magnet untuk pendukung mereka.

Apakah mengherankan jika pemenang pemilu sudah ada bahkan sebelum 10 tahun pemilu dilaksanakan sudah bisa dipastikan pemenang pemilu adalah Golkar kala itu?

TAP MPR nomor 11 tahun 1998 berkaitan dengan korupsi- korupsi dan nepotisme yang tampak jelas dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan gugatan pasal 90 yang digugat oleh seorang yang kabarnya mewakili mahasiswa ternyata kontras dengan gugatan yang diajukan terkait dengan ambang batas presiden (Presidential Threshold) sebesar 20 persen perolehan suara pemilu.

Anehnya semua lupa dengan KKN yang dilarang di TAP MPR tersebut, yang tidak pernah dicabut atau dibatalkan bahkan di tahun 2023 dan seterusnya karena merupakan amanat reformasi.

Karena itu, mendukung pencalonan anak Jokowi, Gibran sebagai cawapres dengan diawali oleh putusan MK, yang terbukti pelanggaran etika berat, disusul dengan sejumlah aturan lainnya semata-mata adalah wujud nepotisme yang paling telanjang dan seharusnya ditolak oleh kalangan mahasiswa Indonesia, kaum ibu, pelajar, dan mereka yang mempunyai hak pilih.

Gugatan ini tidak pernah disidangkan oleh Mahkamah Keluarga.

Aturan yang mewajibkan peserta capres adalah kandidat yang diusung oleh parpol atau peraih suara pemilu mencapai 20% suara yang sebenarnya bisa dilakukan dengan syarat pemilihan presiden dan pemilihan umum partai politik tidak dilakukan secara serentak seperti yang sudah dilaksanakan sebelumnya.

Jika dilaksanakan dalam pemilu serentak, maka tidak akan bisa diterapkan karena perolehan suara di 14 Februari 2024 adalah berbeda dengan perolehan suara di Pemilu 2019. Karena itu, PT 20 persen pada pemilu mendatang tidak bisa menggunakan hasil pemilu lima tahun sebelumnya.

Pemilu parpol dilaksanakan sehari sebelum pilpres bahkan hanya hitungan jam, maka gunakan saja suara parpol saat itu untuk mencalonkan capres di Pemilu 2024 dan seterusnya, tapi upaya ini tidak pernah dilakukan karena trias politika atau lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif semuanya merupakan satu kubu.

Mengapa semua pihak seolah khawatir untuk membiarkan semua parpol berhak mengusung capres masing-masing dan berpeluang mengajukan capres yang sama justru dihambat?

Bahkan hanya seorang yang mewakili mahasiswa dari Solo, anak Boyamin Saiman dari MAKI bisa diloloskan gugatannya oleh MK demi membiarkan Gibran yang merupakan anak Presiden Jokowi itu bisa diusung sebagai cawapres oleh koalisi obesitas di kubu 02. [*]