Jakartasatu.com – Pembangunan pabrik semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah berujung dengan kebijakan penghentian sementara (Moratorium) yang dibuat Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Agustus 2016 silam. Pihak PT Semen Indonesia Tbk diberikan tenggang waktu setahun untuk melakukan Kajian Lingkungan Strategis (KLS).
Jauh sebelum kebijakan moratorium ditetapkan orang nomor satu di tanah air, pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo sudah jauh-jauh hari sudah mengingatkan jika penolakan yang dilakukan masyarakat sekitar disebabkan kurangnya komunikasi dengan masyarakat sekitar.
Dalam sebuah seminar nasional di UIN Surabaya pada tahun 2015 silam, Hermawan menjelaskan jika ada tiga hal yang harus dilakukan PT Semen Indonesia dalam hal ini.
Pertama, melakukan pencerahan, yaitu menjelaskan tentang pembangunan pabrik ini terhadap masyarakat sekitar. Hal ini diharapkan supaya diperoleh informasi yang jelas berbagai pengaruh dengan adanya pabrik tersebut.
Kedua, masing-masing pihak, baik perusahaan semen maupun masyarakat, diharapkan memberikan data, bahkan janji yang akan dilakukan.
“Dan harus ada pihak yang mengawal hal itu. Misal tidak adanya perusakan lingkungan, penyerapan SDM sekitar. Itu yang harus benar-benar dikawal dan diawasi,” ujarnya dalam seminar tentang Industrialisasi dan Budaya Nusantara di Wisma Bahagia, UIN Sunan Ampel, Surabaya, Senin (8/6/2015) seperti dilansir dari Bisnis.com.
Ketiga, lanjut Hermawan, ada pihak yang menjelaskan tentang benchmark yang telah terjadi sebelumnya serta menunjukkan pengaruhnya. Misal saja, pada Semen Indonesia, harusnya mereka memberikan data atau suatu penjelasan menyeluruh sebelum, sedang dan sesudah adanya pabrik semen.
“Tentu saja dengan mencontohkan apa yang terjadi di pabrik semen yang telah ada sebelumnya,” ujarnya.
Dia mengatakan, dampak pembangunan pabrik memang beragam. Misalnya, setahu Hermawan, harga tanah di sekitar pabrik, bahkan bekas galian batu kapur untuk semen, sudah melejit dan menjadi kawasan premium untuk perumahan.
“Misalnya di luar negeri seperti daerah Kyoto, Jepang, ada pasar tradisional yang berusia ratusan tahun yang masih berdiri di antara pasar dan bangunan modern lainnya. Bahkan masyarakat di situ, beri hak untuk memiliki atau masuk sebagai pegawainya. Ini hubungan harmonis bisnis dan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Hermawan, permasalahan yang terjadi dalam perbedaan pendapat perusahaan semen dan masyarakat masih dalam dataran hipotesis alias kesimpulan asumsi sementara. Pasalnya, belum bisa diukur efek mana yang terjadi, apakah efek yang baik atau buruk. “Karena itu perlu komunikasi,” ujarnya.