“Politik adalah seni yang lembut untuk mendapatkan suara dari masyarakat miskin dan dana kampanye dari masyarakat kaya, berbekal janji untuk saling melindungi satu sama lain,” ~Oscar Ameringer, penulis Amerika asal Jerman
Tanggal 14 Februari 2024 ini, Pemilu Indonesia digelar. Seluruh mayarakat yang mau beratensi akan memberikan suaranya untuk memilih calon legislatif dan calon presiden yang disukainya. Disukai karena kinerjanya, karakternya, kepemimpinannya, prestasinya dan banyak lagi faktor-faktor penentu lainnya.
Yang menyedihkan adalah banyak diantara masyarakat pemilih di Indonesia yang memilih karena pragmatisme. Tentu saja pragmatisme dalam beragam bentuknya yang memikat. Mulai dari kedudukan, jabatan, bisnis, hingga uang yang terkadang hanya dalam nominal recehan.
Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa pemilu adalah salah satu momen yang paling penting bagi penentuan nasib bangsa. “The ballot is stronger than the bullet,” begitu tegas Abraham Lincoln tentang pentingnya sebuah pemilu yang disebutnya jauh lebih kuat dibandingkan peluru.
Karena itulah, sebuah suara dalam sebuah pemilu sangat tak ternilai harganya. Karenanya senada dengan Lincoln, Theodore Roosevelt menyebut suara itu seperti senapan yang kegunaannya bergantung kepada siapa yang memegangnya. “A vote is like a rifle; its usefulness depends upon the character of the user,” begitu wanti-wantinya.
Sayangnya banyak masyarakat Indonesia yang mengobral murah suaranya dengan selembar dua lembar uang, sekantong plastik bansos atau iming-iming receh lainnya.
Alhasil pesta demokrasi yang seharusnya ideal untuk dijadikan pintu pembuka masa depan kemajuan bangsa, menjadi sia-sia. Berawal dari pilihan yang salah, menjadikan nasib bangsa bubrah. Wakil rakyat yang dipilih tak mampu atau mungkin ogah menjalankan amanah ketika sudah mendapatkan kursi yang diincar. Presiden yang dipilih pun banyak ingkar janji atas segala janji kampanye yang dikoar-koarkan sebelumnya.
Akibat salah pilih, masyarakat sendiri yang kena dampaknya. Persis seperti apa yang diingatkan Plato beberapa zaman lampau, “Salah satu hukuman jika salah menggunakan aspirasi dalam politik adalah Anda akhirnya diperintah oleh bawahan Anda.”
Kocaknya, masyarakat kita sepertinya tidak pernah kapok. Pil pahit yang seringkali tertelan dalam setiap pemilu lima tahunan, tak juga kunjung mampu mengobati penyakit pragmatisme yang menjangkiti. Apakah advokasi dan edukasi terhadap masyarakat memang kurang?
“Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely. The real safeguard of democracy, therefore, is education,” begitu dikatakan Franklin D. Roosevelt.
Namun benarkan pendidikan terkait masalah ini memang kurang atau kemiskinankah yang membuat daya nalar masyarakat menjadi tumpul?
Yang jelas jelang pemilu kali ini, berbagai guyonan terkait serangan fajar (money politics) banyak viral di sosial media. Berbagai macam postingan photo dan visual lucu terkait budaya politik uang yang biasanya disebarkan pagi-pagi ini banyak disebarkan oleh warganet di berbagai platform sosial media yang mereka miliki. Entahlah, apakah ini sekedar guyonan untuk mentertawakan kebodohan para pelaku dan penerima politik uang, mentertawakan sisi pragmatisme yang masih kuat di kalangan masyarakat, atau kode bahwa masyarakat masih mengharapkan adanya serangan fajar tersebut?
Semoga saja kita tidak pernah menyerah untuk memerangi budaya negatif yang destruktif tersebut. Perjuangan untuk mengenyahkan politik uang, politik bansos, dan sejenisnya harus terus dilakukan sampai masyarakat semakin pintar. Jangan sampai kita hidup seperti dalam kematian hanya karena kita diam saja melihat hal-hal penting yang harus diperjuangkan. Tak ada salahnya kita mengIngat pesan Martin Luther King, Jr, “Our lives begin to end the day we become silent about things that matter.” Tabik.
JAKARTASATU.COM- Biaya jemaah haji 2025 turun—dibanding tahun lalu. Tahun lalu jemaah mesti membayar 56 jutaan. Kini, tahun 2025, jemaah bayar 55 jutaan.
Disampaikan Wakil Kepala...
Ketika Ideologi Mayoritas Tertindas Oleh Ideologi Minoritas: Mengapa Terjadi?
Prof Dr Pierre Suteki
Pada tahun 1912 dengan aliran baru di bidang hukum yang disebut SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE,...
Bentuk Sikap Prajurit Yang Berdisiplin, Dandim 1710/Mimika Beri Pengarahan Kepada Segenap Prajurit dan PNS Kodim
JAKARTASATU.COM-- Usai pelaksanaan upacara bendera, Dandim 1710/Mimika Letkol Inf M....
Sebagai Board of Council Paragon Wardah Stewardship for Global Impact, Retno Marsudi bersama ParagonCorp dan Wardah akan mewujudkan inisiatif strategis untuk pendidikan, pemberdayaan perempuan,...
Kejagung Harus Periksa Apa Ada Jokowi di Kasus Timah 300T?
JAKARTASATU.COM-- Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak untuk tidak ragu mengusut dugaan korupsi pengelolaan timah yang...