Mempertentangkan De Facto dan De Yure adalah bentuk kejahatan kemanusiaan

Wawan Leak Penggiat demokratisasi

Silang sengkarut Pilpres yang sudah kita lewati bersama, pada 14 Februari 2024 masih menyisakan silang sengkarut yg dalam. Akar masalahnya bukan di proses Pilpresnya, tapi ada kepentingan yang sangat dipaksakan.

Sedari proses dari awal mula pendaftaran, banyak aturan yang ditabrak guna meloloskan salah satu orang dari Paslon tertentu.

Publik tanah air pun dunia internasional, dibuat terheran -heran oleh perilaku orang tua dari salah satu pasangan Paslon peserta kontestasi Pilpres 2024.

Sangat tepat bila figur yang memaksakan kehendak, untuk jadikan anaknya menjadi wakil presiden adalah Jokowi, yang notabene masih menjabat Presiden Republik Indonesia.

Belum lagi proses penghitungan suara, diduga banyak sekali akrobat politik yang dilakukan oleh Jokowi.

Secara logika ketika pemahaman politik yang minim pada aparatur sipil negara pun beserta jajarannya, tanpa diminta akan memuluskan anak Jokowi untuk menjadi Wapres.

Disisi lain publik sangat berharap dengan berbagai akrobat politik rezim yang halalkan segala cara dengan menabrak aturan berbangsa bernegara, membuat rakyat muak dan berharap ada perubahan.

Gelombang perubahan menjadi bola salju menjadi gelombang dukungan kepada Paslon lain.

Singkat kata dukungan rakyat yang berharap ada perubahan di republik mengkristal di salah satu paslon (de facto), dan dukungan dari Jokowi yang berharap anaknya menjadi Wakil Presiden (de Yure) saling berhadapan.

Dan mempertentangkan De Facto dan De Yure adalah bentuk dari kejahatan kemanusiaan. Fenomena ini sangat sadis dan miris dilakukan oleh Presiden Jokowi yang notabene bapak dari caWapres tersebut.

Publik dunia pun tahu, ada akal-akalan dalam bentuk cawe-cawe dari Presiden Jokowi guna meloloskan anaknya menjadi Wapres, dan ini sangat mencederai demokratisasi.

Bentuk kejahatan yang tak terampuni seorang pemimpin, bila membiarkan gesekan dan saling berhadapan de facto dan de yure.