IST
IST
Sangat Tak Bermoral, Pajak Atas Barang Kiriman PMI

Oleh Asyari Usman

Para penguasa menahan lebih 80 kontainer barang kiriman Pekerja Imigran Indonesia (PMI) di pelabuhan Semarang dan Surabaya. Tindakan penahanan sejak berbulan-bulan itu dilakukan karena pemerintah memberlakukan pajak impor atas barang-barang kiriman PMI itu. Sehingga, harus diperiksa kotak demi kotak. Ada sekitar 35,000 kotak ukuran besar.

Para penyelenggara kiriman PMI diminta untuk membayar pajak sebelum bisa mengambil barang yang ditahan itu. Seorang manajer perusahaan pengiriman menyebutkan bahwa mereka diwajibkan membayar pajak impor per kontaner sebesar puluhan juta rupiah.

Kalau berbicara tentang barang kiriman PMI yang kini dikenakan pajak, maka fokus diskusi tidak lain adalah masalah moral para pejabat negara. Mereka tahu para PMI itu merantau ke berbagai negara untuk mencari rezeki dengan banyak risiko. Ada yang diperas majikan, dianiaya, gaji tak dibayar, pelecehan seksual, sampai ke kehancuran rumah tangga mereka.

Ketika mereka hendak mengirimkan oleh-oleh kepada keluarga, khususnya untuk Lebaran dan Nataru (Natal dan Tahun Baru) harus dikenakan pajak, pemerintah sangat kejam dan keji. Para PMI itu mengirim oleh-oleh bukan untuk diperdagangkan. Mereka mengirim baju anak-anak, makanan yang mungkin selama ini tak pernah dicicipi keluarga di kampung, mainan anak-anak yang mungkin bisa menyenangkan keluarga yang ditinggal lama, bukanlah bermaksud untuk bermewah-ria.

Kiriman-kiriman itu hanya sekadar penyambung rasa sayang dan peduli PMI terhadap keluarga mereka. Agar keluarga yang masih anak-anak, terutama, tetap ingat kepada ayah, ibu, kakak, abang, adik, yang merantau jauh mencari kehidupan. Agar keperluan sekolah mereka, makan, sewa rumah, BPJS Kesehatan, tabungan masa depan, dan lain sebagainya, bisa terpenuhi. Atau, agar impian para PMI itu untuk memiliki rumah sendiri dapat diwujudkan.

Hampir mustahil PMI itu adalah orang kaya yang mencari pekerjaan pabrik, kuliner, sebagai kuli bangunan, supir, pendodos sawit, mekanik bengkel, penjaga toko, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Tak mungkin. Para PMI itu adalah orang yang terpaksa merantau karena kegagalan negara ini menciptakan lapangan kerja.

Karena akumulasi pendapatan PMI itu ternyata menduduki posisi kedua penghasil devisa, dijulukilah mereka sebagai “pahlawan devisa”. Artinya, para PMI yang bekerja keras di perantauan adalah orang-orang terhormat dan memberikan manfaat bagi peningkatan daya beli dan kesejahteraan rakyat.

Tapi, mengapa sekarang pemerintah, c.q. Kementerian Perdagangan, mengenakan pajak atas kiriman para pahlawan itu? Bukankah pahlawan sewajarnya mendapatkan penghargaan? Bukankah mereka sewajarnya mendapatkan insentif?

Di mana moral para pejabat negara yang tega mengenakan pajak impor untuk kiriman PMI yang tak seberapa itu? Di mana nurani Anda, wahai para pejabat, ketika Anda menulisakan peraturan untuk memajak boneka kiriman PMI? Memajak baju yang dibeli dengan cara hidup irit di perantauan?

Mereka bukan mengirim motor gede branded yang harganya miliaran. Mereka bukan mengirim boneka yang terbuat dari emas dan berlian. Mereka bukan mengirim baju bermerek dunia berharga 40 juta seperti yang dipakai oleh tersangka korupsi PT Timah. Mereka bukan mengirim arloji ratusan juta.

Bukan. Mereka tidak mungkin juga mengirim benda-benda mahal dari gaji setara 4-5 juta per bulan. Tak mungkin itu, Pak Pejabat. Mereka hanya berkirim permen, biskit, bubuk minuman, boneka murah-meriah, baju-baju generik, dan barang-barang harian lainnya.

Kalau bapak-bapak pejabat melihat langsung benda-benda itu yang saat ini sedang diperiksa Bea-Cukai di Semarang dan Surabaya, pastilah Anda semua menahan tangis sebagaimana dialami Pak Benny Rhamdani –kepala BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia)— ketika menyaksikan barang-barang PMI diacak-acak oleh para petugas Bea Cukai.

Sedih, Pak Pejabat. Dan malu rasanya ketika melihat barang-barang bekas bercampur segelintir barang baru itu berserakan di lantai gudang pemeriksaan. Terhinakan.

Mungkin saja Anda, sebagai pejabat tinggi, tak terusik. Wajar saja. Karena boleh jadi Anda sudah terlatih untuk tampil kejam. Karena Anda tidak paham, dan tak bakalan paham, betapa beratnya berjuang di perantauan demi menghidupi keluarga.

Tidak ada sebutan lain untuk Anda kecuali sangat tak bermoral, tak berhati, untuk tindakan Anda yang tega memajak kiriman PMI.[]

12 April 2024
(Jurnalis Senior Freedom News)