IST
IST
JAKARTASATU.COM– Pengamat Sosial, Politik dan Kebijakan Publik, Indra Charismiadji memandu diskusi publik bertajuk APBN 665T Kurang Pengawasan, Biaya Pendidikan Menjadi Beban”. Menghadirkan narsum Anggota Dewan Fraksi Gokar, Komisi X Ferdiansyah. Diskusi secara daring di Pendidikan Vox Point, Senin (27/5/2024).
Indra Charismiadji dalam pembukaan diskusi mengatakan diskusi kita hari ini membongkar Anggaran Pendidikan Nasional yang jumlahnya 665 triliun per tahun. Kata dia UKT bukannya menurun malah makin meningkat bahkan dalam rapat kerja di Komisi 10 DPR alih-alih menjelaskan kenapa UKT itu meningkat malah minta sekjend untuk menjelaskan bahwa yang dikelola itu tidak sampai 100 Triliun.
“Mendikbud Ristek malah mengatakan yang dikelola tidak sampai 100 triliun. Jadi sepertinya beliau tidak pernah baca undang-undang Sis Diknas, Undang-undang nomor 20 tahun 2023 yang berbunyi menteri adalah yang bertanggung jawab urusan pendidikan ngga terbatas cuma pada cara batas anggaran pendidikan, kemudian selesai,” tutur Indra.
Indra menegaskan keseluruhan urusan pendidikan tanggung jawab menteri. Komposisi dari anggaran 665 triliun larinya kemana? Kenapa dibuat seperti itu? Sepertinya dana sebanyak itu tidak diserahkan ke Kemendikbud Ristek. Kenapa tersebar ke berbagai kementerian.
Menanggapi itu, menurut Ferdiansyah hal tersebut sangat mendasar tetapi terkait pendanaan ini mengadung unsur. Unsur pendanaan dan pembiayaan. Kalau pendanaan pendidikan kita sumbernya dari mana? Kalau bicara pembiayaan berarti ini penekanannya biaya satuan per Unit per jenjang baik itu jenjang SD, SMP, SMA, SMK bahkan perguruan tinggi berapa?
“Kalau itu jalur formal belum kita lagi menghitung jalur non formal. Belum lagi kita menghitung PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini),” ujar Ferdiansyah.
Oleh karena itu kita harus sepakati yang 1). Masuk benar-benar masuk anggaran dana pendidikan itu adalah langsung bersentuhan dengan dunia pendidikan. Tidak termasuk pendidikan kedinasan. 2) Apabila sudah dikategorikan itu, berarti larinya kemana saja dialokasikan. Ini harus benar. Seharusnya Mendikbud Ristek jadi komando bagaimana penyebaran dari masing-masing anggaran pendidikan yang dialirkan baik ke Kementrian atau lembaga yang ada di pusat yang namanya Belanja Pusat maupun yang dilarikan ke daerah, yang namanya Belanja Daerah. Sekarang BOS (Bantuan Operasional Daerah) sudah dilarikan ke Daerah.
“Yang jadi perhatian kita adalah seyogyanya Menteri Pendidikan mampu mengkomunikasikan dan menjadi membelahnya Kementerian KL lembaga yang ada di Indonesia,” kata Ferdiansyah.
Ferdiansyah menuturkan apakah amanah sudah tepat apa ngga misalnya untuk anggaran fungsi pendidikan itu misalnya X triliun di Kementerian A itu siapa. “Nah problemnya di sini adalah memang Msndikbud harus mendatangi kementerian tersebut, kemudian mendatangi Kemenkeu, mendatangi Bappenas, rembukan dengan 4 lembaga tersebut. Berembuklah, apakah sudah tepatkah. Karena kan prinsip anggaran visi pendidikan itu tidak di luar pendidikan kedinasan.”
Menurutnya, sebenarnya kalau kita mengacu sebelum ada keputusan MK, anggaran fungsi kependidikan itu atau anggaran pendidikan tidak termasuk gaji guru dan dosen. Tapi karena ada keputusan MK, masuklah gaji guru dan dosen menjadi anggaran fungsi pendidikan.
Dikemukakan Ferdi, kembali ke penyebarannya kalau dibaca di data 98,9 triliun itu memang ke Kemendibud Ristek. Kementrian dan lembaga lain itu sekitar 194. Belanja pemerintah pusat 241,4 triliun. Yang ditranfer ke daerah yaitu 346.558 miliar. Yang melalui pembiayaan 77 miliar.
“Nah yang tadi saya kategorikan belanja pusat itu yang Kementerian dan Lembaga yang ada di Pusat, yang anggaran pendidikan melalui transfer daerah itu yang DAU dan DPH baik itu DAK fisik maupun DAK non fisik dan tunjangan guru ASN dan lain sebagainya. Kalau dibacakan banyak nih unsurnya,” terangnya.
Kemudian lanjut Ferdiansyah kalau anggaran pendidikan melalui pembiayaan, ada namanya Dana Abadi Pendidikan termasuk Dana Abadi Pesantren, Dana Abadi Penelitian, Dana Abadi Kebudayaan, Dana Abadi Perguruan Tinggi dan pembiayaan Pendidikan. Kalau diurai secara pematrikan atau secara pemetaan memang kesannya sudah bagus. Tinggal diverifikasi dan validasi tentang jumlah-jumlah tersebut.
“Tapi, lagi-lagi koordinasi dengan Kementerian, Lembaga dan juga Bappenas,” tekannya.
“Saya punya keyakinan kalau komunikasi dan koordinasi apa yang kita khawatirkan itu paling tidak mengurangi masalah. Terasuk juga yang ada di Kemendibud Ristek bahwa 98,9 triliun cuma sedikit dibanding dengan yang lain. Oh iya, tapi jangan lupa maka Saudara Nadiem menghitung unit cost untuk jenjang SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi,” ungkap Fraksi Golkar ini.
“Nah, cikal bakal daripada kehebohan PTS atau PTN ataupun Perguruan Tinggi itu karena tidak ada keterbukaan untuk satu diantaranya adalah biaya tunggal atau UBT, kan bukan UKT. Sebelum UKT namanya UBT Uang Biaya Tunggal. Artinya pembiayaan dihitung dulu per Prodi,” bebernya.
“Maka itu saya menyarakan supaya dibuat Range, dibuat antara misalnya Prodi PPKM range-nya , misalnya ini misalnya ya antara 4-8 juta. Tinggal dimana statusnya apa program unggul, baik, baik sekali atau baik-baik sekali. Kalau dulu kan akreditasi prodinya A, B, C sekarang kan diganti dengan unggul, baik sekali, baik. Tentu akan berbeda unit costnya,” jelasnya.
Nah di situ, kata Ferdi, “Mohon maaf ya dengan segala hormat ya Pak Indra hehehhe, dengan niat baik, harusnya Saudara Nadiem Makarim bersama jajarannya harus mampu menghitung itu.”
“Misalnya mulailah untuk PTN dululah. Kalau di bawah kendali Kemendikbud bisa menentukan UBT untuk per Prodi, per Universitas. Tiap prodi di universitas lain-lain. Sebenarnya titik yang paling krusial itu di internal di hal barusan disebutkan yaitu ketidakmampuan Saudara Nadiem Makarim untuk melakukan bersama-sama rembuk dengan para rektorat, dengan para tenaga pendidikan untuk merumuskan biaya itu,” tandas Ferdiansyah. (yoss)