Kepolisian Indonesia dan Revisi UU Polri
Oleh Sobirin Malian
Jika merujuk kepada laporan lembaga Ombudsman sejak tahun 2020, maka kepolisian adalah lembaga yang paling banyak dilaporkan. Anggota Ombudsman Adrianus Meliala (28/1/2021) kala itu mengatakan, telah menerima 1.120 laporan masyarakat terkait hukum, HAM, politik, keamanan, dan pertahanan dengan terlapor lembaga penegak hukum sepanjang 2020. Kepolisian menempati urutan pertama dengan 699 laporan, 115 laporan di antaranya telah diselesaikan oleh Ombudsman. Menurut Adrianus, sebagian besar laporan polisi terkait dugaan penyimpangan prosedur dan pemberian pelayanan. Hingga 2022 data tentang tingginya laporan masyarakat terkait kepolisian relatif tidak berubah. Demikian juga laporan Komnas HAM, sejak tahun 2020, kepolisian – menurut Komnas, juga lembaga yang paling banyak dilaporkan terkait tingginya pelanggaran hak asasi manusia. Selain bertindak sewenang-wenang, polisi juga dilaporkan karena lamban dalam menangani berbagai kasus.
Pertanyaannya, wajarkah kita heran dengan hasil laporan tersebut? Seharusnya tidak.
Seperti diketahui, sejak 1 Juli 1999, menyusul berakhirnya era Orde Baru, Polri telah dipisahkan dari TNI/ABRI. Pemisahan itu ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Isi Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 antara lain, TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, sementara Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Dalam hal terdapat ketertiban kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.
Adapun sisi Tap Nomor VII/MPR/2000 antara lain, Polri merupakan alat negara berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memliki keahlian dan ketrampilan secara profesional. Dan anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum.
Dengan pemisahan Polri dan TNI, pada hakikatnya Polri menjadi lembaga sipil. Sebagai lembaga sipil, diharapkan wajah Polri akan semakin ramah, dekat dan bersahabat dengan masyarakat. Sayangnya itu hanyalah harapan. Dalam kenyataannya, dalam 20-an tahun terakhir Polri merupakan lembaga yang paling banyak diadukan masyarakat ke Ombudsman dan Komnas HAM dengan dugaan kurang responsif dan dugaan pelanggatran HAM, dan lebih condong berpihak pada penguasa.
Pemisahan Polri dan TNI dalam kenyataannya tidak serta merta diiringi dengan wajah Polri yang lebih ramah, dekat, bersahabat dengan masyarakat. Jelas Polri masih perlu kerja keras dan banyak belajar agar “performance”nya diterima, dekat, ramah dan bersahabat dengan masyarakat. Bahkan hingga kini setelah 24 tahun berpisah dengan TNI, wajah Polri masih terkesan sama…masih saja seperti ketika menyatu dengan TNI.
Revisi UU Polri
DPR RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) menjadi usulan RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada Selasa (28/5/2024). Ternyata cukup banyak kontroversi dalam draf RUU tersebut.
Di dalam UU Polri No. 2 Tahun 2002 Pasal 16 mengatur 12 wewenang Polri dalam proses pidana. Adapun revisi UU Polri menambahkan kewenangan baru, termasuk:
Pasal 14: Pengawasan dan Blokir Ruang Siber
Kita ingat kata-kata bijak Lord Acton (1834-1902), yakni “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, artinya, “kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan.” Pasal 14 ini, cukup mengkhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan: Pemberian kewenangan luas kepada Polri untuk mengawasi, membina, dan mengamankan ruang siber dikhawatirkan dapat membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Pemblokiran Ruang Siber: RUU ini memungkinkan Polri untuk memblokir atau memutus akses ruang siber untuk mencegah kejahatan, namun mekanisme dan kriterianya belum jelas, sehingga dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.
Pasal 16: Penyadapan dan Intelijen
Kewenangan Penyadapan: Pasal 16A huruf b memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai UU tentang Penyadapan, namun dikhawatirkan dapat melanggar privasi dan hak asasi manusia.
Kegiatan Intelijen: Polri dapat melaksanakan kegiatan intelijen keamanan, termasuk penyelidikan dan penggalangan intelijen. Kekhawatiran muncul terkait minimnya pengawasan terhadap kegiatan intelijen ini, dan potensi penyalahgunaannya untuk kepentingan politik atau represif.
Usia Pensiun
Isu yang juga banyak dikritik adalah pasal tentang usia pensiun. Pasal 30 ayat (2) huruf a dan b mengatur perpanjangan batas usia pensiun anggota Polri:
• Bintara dan tamtama: 58 tahun (dapat diperpanjang menjadi 60 tahun jika dibutuhkan organisasi).
• Perwira: 60 tahun (dapat diperpanjang 2 tahun untuk keahlian khusus yang sangat dibutuhkan).
• Jabatan fungsional: 65 tahun.
Pasal 30 ayat (4)
• Batas usia pensiun Kapolri (perwira tinggi bintang 4) dapat diperpanjang melalui Keppres setelah mendapat pertimbangan DPR.
• Tidak ada ketentuan rinci tentang batas maksimum perpanjangan usia pensiun Kapolri.
• Batas usia pensiun, secara yuridis diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32/1979 dan peraturan lain, seperti guru, hakim, jaksa, serta TNI dan Polri. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tuntutan perpanjangan BUP, yakni perkiraan batas usia harapan hidup sudah meningkat menjadi 72 tahun.
• Selain itu, terdapat kesenjangan batas usia pensiun, baik antar sesama PNS maupun antar pegawai negeri lain, seperti guru, dokter, TNI dan Polri. Alasan lain, adanya kekhawatiran dan ketidakrelaan para pegawai untuk pensiun karena kehilangan kekuasaan dan berkurangnya penghasilan. Pada poin ketidakrelaan, saat ini terbukti sangat banyak pensiunan Polri yang masih menjabat di berbagai lembaga negara dengan memanfaatkan jaringan politik institusi dengan pejabata pemerintahan.
Kegalauan terkait pensiun ini, mengingatkan penulis pada sosok Jenderal George Washington (1732-1799) yang intinya, menyatakan “lembaga” bersenjata api dapat saja merampas kemerdekaan rakyat.
Selama ini, pengawasan terhadap Polri dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun khalayak paham bahwa Kompolnas tidak berada dalam posisi untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap Polri. Kompolnas kurang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengawasi Polri. Lebih dari itu, beberapa rekomendasi Kompolnas bukan cerita baru sering dianggap angin lalu. Bahkan pernah terjadi, ada seorang komisioner Kompolnas meminta maaf kepada kepala Polri saat diperiksa karena bersikap kritis terhadap Polri.
Mengapa Revisi RUU Polri Kontroversial?
Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri menuai kontroversi karena beberapa poin pentingnya dikhawatirkan dapat:
1. Melemahkan Akuntabilitas Polri
Kewenangan Polri, seperti dalam Pasal 14 (pengawasan ruang siber) dan Pasal 16 (penyadapan dan intelijen), dikhawatirkan dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan minimnya pengawasan. Selain itu mekanisme dan kriteria dalam penggunaan kewenangan baru tersebut belum jelas, sehingga dikhawatirkan tidak transparan dan akuntabel.
2. Membahayakan Demokrasi dan Kebebasan Sipil
Pemberian kewenangan kepada Polri untuk memblokir atau memutus akses ruang siber dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi. Kewenangan penyadapan dan intelijen yang luas bagi Polri dikhawatirkan dapat melanggar privasi dan hak asasi manusia, serta digunakan untuk kepentingan politik atau represif.
3. Memperkuat Kekuasaan Individu dan Melemahkan Regenerasi
Pasal 30 ayat (2) huruf a dan b mengatur perpanjangan batas usia pensiun anggota Polri, dikhawatirkan dapat menghambat regenerasi dan memperkuat kekuasaan individu. Sementata Pasal 30 ayat (4) mengatur batas usia pensiun Kapolri dapat diperpanjang melalui Keppres setelah mendapat persetujuan DPR, namun tidak ada batasan maksimal. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu politisasi dan melemahkan independensi Polri.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta