JAKARTASATU.COM– Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa Surat Presiden (surpres) Rancangan Undang-Undang Polri (RUU Polri) sarat kepentingan elit. Hal ini disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian pada Rabu (10/7/2024), kepada media.

“Menilai bahwa diterbitkannya Surpres RUU Polri tersebut adalah wujud penelantaran terhadap berbagai kritik publik yang  gencar menyorot proses legislasi yang sembunyi-sembunyi dan bermasalah. Terlebih  substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elit,” demikian yang tertulis di siaran pers.

Langkah Presiden Joko Widodo yang mengirimkan surat presiden ini menurut Koalisi patut dinilai sebagai tindakan yang mengkhianati demokrasi dan konstitusi.

“Langkah Presiden dan DPR RI selain telah mengerdilkan cara-cara demokratis dengan memaksakan terbitnya Surpres dan bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU Polri ini, juga dipastikan sama sekali tidak berorientasi pada kepentingan publik dan tidak memiliki intensi untuk melakukan perbaikan fundamental bagi Polri.”

Hal tersebut ditandai dengan proses yang  terburu-buru, di masa lame duck (politikus yang segera berakhir masa jabatan), hal mana RUU ini tidak termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, tidak melalui perencanaan dan penyusunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga pada gilirannya mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).

Menurut Koalisi, sebelum mengirimkan Surpres ke DPR RI, seharusnya Presiden Jokowi membuka mata dan telinga terhadap kritik dan penolakan terhadap RUU Polri yang disuarakan berbagai elemen masyarakat sipil.

Semestinya, kata Koalisia, Presiden meninjau kembali rancangan undang-undang usulan DPR yang sarat masalah baik formil maupun substansi dengan mengakomodasi tuntutan publik, bukan justru bersikeras menerbitkan Surpres.

“Terlebih lagi RUU Polri ini akan memberi kewenangan yang demikian besar dan luas kepada institusi yang dalam beberapa tahun terakhir justru tengah ramai disorot publik dan sarat dengan masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia sehingga langkah Presiden ini justru hanya kian menunjukan praktik-praktik legislasi otoriter ‘unjuk kuasa’ dengan mengabaikan kritik publik.” (RIS)