Kalau Esai Berkelit Wah!
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni
Lantas apa itu kemodernan di ranah seni politik melawan arus. Wow! Kecerdasan kreatif kalau berani menerima kritik seni politik, berakibat kesegaran komunikasi antar seni dengan politik. Tak ada seni mau dikritik atau sebaliknya tak ada kritik tak ada seni. Seni politik atau politik berseni sepasang merpati indah.
Apakah seni politik masih perlu uraian politik seni. Mengurai politik seni keindahan seni berpolitik. Tidak takut kritik. Apabila pada musim bunga pengadeganan terjadi “Terserah gue dong mau bikin apa zaman modern. Ini karya domain gue.” Nah loh arogansi awal mula kegagalan politik tak berseni atau sebaliknya.
Waduh! Gagalkan. Iya kan? Zaman tekno tak selalu hebat, deus ex machina, dramatis doang muncul di adegan akhir. Manusia kagak bisa sendiri kuy. Aktor sang adil seolah-olah penyelamat tapi justru jadi satir komedi non alegoris non kriteria. Kok bisa begitu? Bisa, kalau arogan akan menjadi aktor tak berkarakter. Wah!
Maka peranan akan membunuh identitas peran jati diri, sebaliknya-sebaliknya lagi. Jadi pandir deh, ups! Oh! Bisa begitu ya. Sangat bisa bahkan mungkin bekal tubuh tak jadi berkembang tapi layu atau loyo sebelum berkembang. Nah tuh. Apa betul begitu? Apa betul tanda ketik bisa dibaca atau tak bisa dibaca.
Nah! Apa betul begitu. Bisa betul. Bisa juga tidak. Apakah akibat dilema keismean. Bisa iya. Bisa juga tidak. Wah! Kalau tak bisa dibaca mungkin tak bisa mengetik. Menyoal ketik mengetik penting loh. Apabila kritik tak hadir akbat tak diperlukan. Wah! Hebat. Seni politik tanpa kritik jadi pepesan kosong dong.
Seakan-akan pula, telepon seluler jadi pahlwan, mencatat peristiwa personal-meskipun, mungkin, otak manusia tengah dibikin malas akibat tanpa aktivitas analog, barangkali, kegiatan sel-sel otak menurun bertahapan-hampir serupa dengan jantung, pun memerlukan etape aktivitas pemacunya-olahraga.
Keterbatasan tekno/mesin akibat peniruan sistemis. Beda atuh dengan iklim lakon natural. Nonton deh terjadinya tata cahaya panggung; melakukan tidakan peniruan dari tata laku cuaca natural. Ramai pula mesin tekno konon mampu meniru bagaikan perasaan manusia. Uwow! Pasti beda. Pandir banget kalau ada pemeo tekno lebih canggih dari manusia.
Tekno mesin bisa disebut program dengan predikat super canggih. Tetaplah berbasis data asupan dari manusia pembuatnya untuk menjadi alat bantu bersistem; bergiat sehari-hari dengan kapasitas maksimal tertentu tanpa nurani. Tekno apapun itu berbeda dengan manusia pemilik sel otak dilengkapi nurani plus ruh dari Ilahi.
Oke. Kritik seni atau seni kritis. Nah! Apa atau siapa, pembuat kritik seni, pembuat seni kritis, sebaliknya di bolak balik. Tidak ada. Siapa bilang. Apa betul kritik seni sudah terlanjur tak hadir lagi, atau, mungkin saja karena seni tak hadir lagi untuk dikritik alias dikritisi. Loh! Kenapa bisa begitu. Mungkin begitu atau mungkin juga tidak begitu.
Kritis mengkritik bisa baik. Tapi bikin ngambek baper cemburu cemberut ngedumel pun bisa kritis akibat tafsir kritik warna berbeda meski urusan selera makan atau tak cocok semerbak parfum kekasih. Jadi ogah dikritik, okeh uhuk-uhuk. Enggak tahu deh. Kritik seni politik apaan? Relativitas mungkin. Kalau kritik ehem hihihi.
Apakah mungkin begitu? Apakah karena bangun pagi sudah terjadwal di telepon seluler. Seolah-olah terpola katarsis pada mesin tekno. Seakan-akan mesin tak terbatas, meskipun, hanya sampai pada tingkat perencanaan asosiatif tekno berpadu kasih, kadang sampai, kadang tidak, malah bocor loh. Hah! Wah!
Sebagaimana tekno serial tertentu terbatas bejana tekno tertentu pula. Padahal hasil meniru analog-natural agar tampak canggih mampu melihat awan dari dalam kulkas, setelah program dirancang bangun. Iyau! Tapi bukan tekno plagiat lantas gagal paham tapi maksa sekalipun membaca numerikpun kacau. Gawat.
***
Jakartasatu Indonesia, Juli 16, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.