SKETSA PILKADA SERENTAK (1): KEDAULATAN DI TANGAN RAKYAT
Oleh Imam Wahyudi (iW)
Pilkada di mana-mana. Di kampung jeung di kota. Mengingatkan lagu Badminton karya Mang Koko, yang dirilis 1955. Riang, populer dan merakyat di jagat Jawa Barat.
Arena pilkada yang marak nan serentak. Pilkada Serentak 2024 yang meliputi 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Satu daerah (baca: provinsi) dikecualikan berdasarkan Undang-undang nomor 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Demi serentak, seluruh kepala daerah se-Indonesia harus melepas jabatan. Adalah konsekuensi pemberlakuan Undang-undang nomor 10/2016. Tak kecuali bagi gubernur, bupati dan wali kota yang meski periodisasi jabatan belum berakhir — harus berhenti. Menjelang tahapan Pilkada Serentak 2024.
Sempat terjadi kompleksitas masalah. Namun keberadaan Undang-undang 10/2016 tak bisa digugat. Konsekuensi lanjutan, serentak pula ditunjuk penjabat (Pj) untuk kepala daerah itu hingga terpilih kepala daerah anyar melalui Pilkada Serentak pada 27 November mendatang.
Baru kemarin sore, kenduri demokrasi (serupa tapi tak sama) digelar. Pemilu Serentak 2024 yang berlangsung 14 Februari 2024. Spesifik pemilihan legislator (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Puncak pemilu Indonesia yang cenderung menukik tajam pada agenda pilpres. Hingar bingar yang memuncak, praktis menenggelamkan ritual pileg.
Peran efek “ekor jas” atau magnet figur mewarnai hasil akhir pileg. Sebuah fenomena demokrasi yang memengaruhi pilihan langsung dan atau tak langsung atas figur dari agenda utama pemilu. Akibatnya, tak sedikit caleg potensial dengan kapasitas dan kapabel — harus rela tergusur. Sebaliknya, tak sedikit pula yang beroleh manfaat dari coat tail effect tadi.
Tak kurang dari temuan penulis di lapangan dan penuturan sejumlah caleg. Bahwa kontestasi pileg kemarin cenderung barbar. Istilah yang menggambarkan hi cost (biaya tinggi) atau pragmatisme hingga akar rumput. Beruntung bagi yang kemudian terpilih. Bagi yang tidak, bukan cuma gigit jari — sangat mungkin menyisakan utang sana sini.
Problematika, bahkan dilema itu sejatinya sudah menjadi perbincangan sedari awal. Selebihnya, lagi-lagi sebuah konsekuensi yang tak terhindarkan. Sistem demokrasi kekinian yang dianggap visibel. Karuan muncul wacana pemisahan kembali pelaksanaan pileg dan pilpres. Monggo para dewa di Jakarta untuk evaluasi dan utak-atik aturan main.
Balik ke laptop. Agenda Pilkada Serentak 2024, bagi publik — rasanya masih menyisakan catatan minor atau suara sumbang Pemilu Serentak 2024. Pilkada serentak kali ini, hendaknya dimaknai sebagai implementasi demokrasi sejati. Belum pada posisi demokrasi seutuhnya dengan sejumlah koridor yang diperlukan.
Pilkada serentak, hakikatnya hendak menegaskan kembali — bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Mereka (baca: rakyat) yang senantiasa berdaulat yang tak bisa digugat. Tak sebatas di bilik suara atau Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang selanjutnya tak pernah diketahui rimbanya. Nasib suara yang kerap ditengarai compang-camping di selepas TPS. Tak ada lagi alat kontrol dan memantau hingga bersesuaian hasil akhir rekapitulasi.
Pilkada serentak yang dirindukan segenap warga. Bersamaan lagu riang di awal tulisan ringan ini. Pilkada di mana-mana… yang sohor dan merakyat. Bahwa kelak, figur yang terpilih merupakan manifestasi suara rakyat. Bukan pada kekhawatiran eksploitasi demi legitimasi.***
– jurnalis senior di bandung