Tikus Pekerja, Penyakit Jakarta?

Oleh Indra J Piliang | Sang Gerilyawan Batavia

Per hari ini, sesuai jadwal dari KPU DKI Jakarta, Ahok Zhong Wanxue (Zhong Wanxue adalah nama Tionghoa Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot Saeful Hidayat bukan lagi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta de facto. Keduanya sedang mengikuti fase kampanye dan debat publik pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode 2017-2022 hingga 11 Februari 2017. Jakarta per hari ini – lewat pelantikan pagi nanti di Kantor Kementerian Dalam Negeri — dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas Gubernur yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri, sosok yang ahli di bidang keuangan dan piawai dalam manajemen pemerintahan.

Lalu, apakah program berburu tikus dengam hadiah Rp. 20.000,- per ekor yang sudah dicanangkan Ahok dan Djarot berjalan? Seperti tak rela melepaskan program-program sejenis, akun twitter Ahok masih sibuk dengan cuitan program kerjanya, sampai menjelang acara pengambilan nomor urut. Bahkan, dua hari lalu, Ahok mengaku masing menandatangani sekeranjang surat di mejanya. Ahok – Djarot memang melempar sejumlah program berbao angpao. Selain berburu tikus, ia juga membelanjakan sekitar Rp 2,7 Trilyun untuk beasiswa.

Ya, bagaimana dengan tikus? Berapa uang yang dianggarkan untuk dibelanjakan? Apakah Ahok dan Djarot masih memikirkannya? Program yang tiba-tiba muncul itu seakan tak diberi kesempatan untuk mendapatkan pertimbangan warga Jakarta. Apakah warga Jakarta lebih butuh berlomba-lomba di dalam got kumuh untuk mendapatkan seekor tikus; anak-anak naik genteng yang rapuh, hingga ibu-ibu memasang perangkap di area penuh kabel listrik? Atau cukup setiap RT atau RW diberikan anggaran dalam jumlah memadai, lalu mereka bergotong royong bersih-bersih lingkungan secara bersama-sama. Ahok, saking cerdasnya, tak lagi menganggap institusi RT-RW yang telanjur “memusuhi”nya itu sebagai pusat sebaran anggaran.

Program berburu tikus ini adalah puncak dari cara hambur-hambur uang yang tidak perlu, sebagaimana selama ini dipamerkan dengan tinggal keakuan yang tinggi. Kamus bahasa “Gue pecat,” dan sejenisnya yang keluar dari mulut Ahok Zhonk muncul dari gelimang anggaran pembangunan Jakarta. Pemerintah daerah lain tak mungkin bisa mengangkat Aparatur Sipil Negara sekehendak hati, bahkan yang uzur sekalipun, mengingat ketiadaan anggaran. Ketika KemenPANRB menempatkan Pemprov DKI pada urutan ke-18 dalam daftar provinsi yang dengan kinerja yang hanya bernilai C, serangan hitam langsung tertuju kepada menteri dan seluruh jajarannya.

Ya, dibandingkan dengan anggaran DKI Jakarta yang hampir Rp. 70 Trilyun itu, anggaran KemenPANRB tidak seberapa: hanya Rp. 200 Milyar dengan 300 Aparatur Sipil Negara (ASN) berdedikasi. Anggaran DKI Jakarta 350 lipat lebih besar dari KemenPANRB. Akibatnya bisa ditebak, KemenPANRB remuk menghadapi ribuan tikus sosial media. Nasib yang sama pun dihadapi oleh BPK RI.  Pamor BPK RI langsung hancur, ketika tikus-tikus sosial media ini menyerang dengan lahap.

Uang yang banyak, justru memicu kelalaian. Bagaimana mempertanggungjawabkan program berburu tikus ini? Soalnya, sesuai info yang beredar, tikus-tikus itu dibawa ke kantor-kantor kelurahan. Tikus-tikus yang mati pagi hari, tepatkah tergeletak di kantor kelurahan sampai sore hingga kasir datang? Bagaimana dengan tikus-tikus yang mati malam hari, sementara kantor kelurahan tutup; tentu perlu bermalam di rumah-rumah warga. Sudah adakah petugas piket pagi-pagi yang menangani tikus-tikus yang mulai membusuk itu?

Tidak semua kantor kelurahan memiliki gudang atau ruangan kedap bau. Rata-rata kantor kelurahan digunakan untuk berbagai kegiatan warga. Bahkan, anak-anak kecil yang mau diimunisasi juga terkadang mengambil tempat di kantor-kantor kelurahan. Kaum muslimin menggunakan sebagai mushola. Warga bisa juga menggunakan kantor kelurahan untuk kendurian atau kondangan. Bayangkan campur bau antara rendang dengan bangkai tikus. Bayangkan jika satu, dua, tiga hingga beratus tikus mati yang melelehkan darah di mulutnya itu menyerbu kantor-kantor kelurahan, pada saat anak-anak sedang ramai atau pada jam-jam sholat.

Sesuai bahasa Djarot, tikus-tikus itu juga lambang bagi perburuan tikus-tikus berdasi di pemerintahan. Adakah yang menjamin betapa tidak ada korupsi sama sekali dalam menilai jumlah tikus yang diburu dan harga yang diberikan? Taruhlah ada petugas piket bergantian, berapa banyak pengawas-pengawas bagi petugas-petugas itu agar tidak terjadi kongkalikong atau nepotisme lewat jumlah tikus yang dibayar? Sungguh, nalar saya dalam memikirkan sistem yang digunakan terkait program dadakan ini tak sampai.

***

Ahok dan Djarot yang kini memimpin dalam seluruh survei lupa satu soal, yakni betapa berbahayanya berburu tikus. Membuka sarang tikus, sama saja dengan menyebarkan segala macam hal yang terkait dengan tikus. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, tidak sembarangan petugas yang boleh berburu tikus. Tikus diburu oleh pertugas pilihan yang sudah bersertifikasi. Sebab, tikus bukanlah kartun Mickey Mouse yang lucu, menggemaskan ataupun tak punya dampak apa-apa bagi kesehatan manusia.

Ah, mari kita periksa penyakit-penyakit yang dibawa oleh tikus ini.

Satu, penyakit pes. Inilah penyakit yang pernah paling mematikan di Eropa. Pada masa jaya-jayanya, penyakit ini membunuh lebih dari sepertiga penduduk Eropa. Tak heran, jika banyak sastrawan melukiskan penyakit ini dengan cara yang mengerikan. Novel Sampar karangan Albert Camus yang menceritakan Perancis dalam pendudukan NAZI Jerman, paling tidak mewakili kengerian itu. Penyakit serupa pernah membunuh sekitar 10.000 warga Eropa yang bermukim di Batavia, sebagaimana bisa dibaca dalam karya Denys Lombard.

Kedua, penyakit leptospirosis. Penyakit ini dikenal juga sebagaidemam canicola, demam ladang tebu, atau demam tujuh hari. Demam ini menular, akibat bakteri yang menyerang melalui perantara hewan seperti tikus. Cukup terkena kencing tikus, lalu kencing itu masuk saluran air, ataupun terkena bagian tubuh yang luka: berbiaklah bakteri itu di dalam tubuh.

Ketiga, penyakit murine typhus.Penyakit yang juga disebut tipus endemik ini kurang dikenal warga. Bakteri Rickettsia Typhiadalah pembawa penyakit ini. Darimana datangnya bakteri ini? Ribuan atau lebih kutu yang bersarang di tubuh tikus. Bakteri itu membuang kotoran di tubuh tikus yang tak pernah mandi itu. Para pemburu tikus yang korengan, bisulan ataupun luka kecil, bakal mudah dialiri kotoran itu, apabila gaya-gayaan menangkap tikus tanpa plastik yang menutupi tubuh.

Keempat, penyakit crub typhus. Penyakit ini datang dari kotoran tungau yang mengenai luka di kulit, termasuk luka akibat gigitan tungau. Tungau (“tengu”dalam bahasa Jawa) adalah keluarga laba-laba yang sangat kecil. Tungau yang bisa berubah menjadi merah ini, di kalangan anak-anak terbiasa bersarang di bagian alat kelamin. Bayangkan berapa banyak anak-anak yang perlu dibawa ke puskesmas atau rumah sakit, ketika ikut terpancing kegiatan berburu tikus demi hadiah Rp. 20.000,-?

Tentu tidak hanya empat jenis penyakit yang terkait dengan tikus itu bisa ditemukan. Silakan tanya para dokter hewat atau cari di internet. Berjenis penyakit lagi menunggu.

***

Ahok sepertinya tak peduli pada binatang, hak-hak binatang dan nasib binatang. Ya, makin jarang terdengar nasib rusa-rusa di Taman Monas yang kehabisan makanan di era Fauzi Bowo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pun tak lagi diketahui, apakah Pemda DKI Jakarta memiliki cukup biaya untuk menghidupi seekor Gorilla yang dulu dibeli Gubernur Sutiyoso dengan harga Rp 3,5 Milyar? Ahok jarang bicara tentang hewan. Entah mengapa, ia malah tertarik dengan tikus, dengan kemasan program yang jauh dari sempurna, pada garis finish pemerintahannya.

Tikus, sekalipun berbahaya dan membawa penyakit mematikan – apabila ditangkap tanpa keahlian – tetaplah hewan pengerat yang rajin bekerja siang dan malam. Tikuslah yang mengerat sisa-sisa makanan dari berton-ton sampah yang ada di Jakarta. Tikus memasukkan sisa-sisa makanan itu ke dalam perutnya, sebagai katalisator yang tak mudah tersebar lagi di lingkungan manusia. Dengan beragam jenis makanan kotor penuh bakteri dan virus itu, tikus menelannya.

Tikus-tikus itu membawa kotoran dan penyakit di perutnya ke dalam lorong-lorong hunian yang berdekatan dengan air kotor. Barangkali Ahok dan Djarot jarang menonton film Batman, spionase dan sejenisnya, tatkala gorong-gorong kota menjadi tempat kerajaan tikus berkumpul. Pada area yang jarang sekali dilewati manusia itu, dalam mata rantai pembuangan paling akhir; tikus-tikus bekerja dengan seragam hitam (bukan oranye).

Lihatlah Jakarta sekarang, Ahok menembok dan mengaspalnya hingga ke gang-gang kecil. Tanah sama sekali sulit bernafas. Kecuali di area-area pemukiman elite seperti Pantai Indah Kapuk, Pluit, Sunter atau Kelapa Gading, kian jarang tanaman tersedia. Ahok memamerkan keahlian dengan cara menembok sungai-sungai. Padahal, bagi yang belajar ekologi – bukan geologi sebagaimana Ahok – sungai adalah makhluk, bukan semata-mata benda mati. Sungailah yang membawa beragam jenis benih dari hutan-hutan di hulu, lalu tumbuh di tanah-tanah sepanjang aliran sungai.

Ahok bahkan lupa menanam tumbuhan merambat yang berguna bagi manusia, karena memproduksi oksigen. Bagi orang yang sejak kecil bergaul dengan sungai yang lebar di kampung saya, sungai bukanlah musuh manusia. Aktivitas berlebihan manusia di kawasan hululah yang membuat sungai-sungai mengamuk, dengan meluapkan aliran air yang dibawa ke kawasan pemukiman manusia.

Alam tidak pernah berdusta. Begitulah pepatah yang muncul dari nenek moyang bangsa Indonesia. Banjir atau asap, selalu saja muncul dari kerakusan dan ketamakan manusia itu sendiri.

Bukan sungai saja yang mengalami penembokan, tetapi juga jalan-jalan kecil. Selama 25 tahun menjadi warga DKI Jakarta, baru dalam era Ahok – Djarot saya melihat betapa gang-gangpun diaspal. Pengaspalan gang-gang kecil itu membunuh tumbuhan dan hewan. Semak belukar tak ada, cacing mati, kecoak yang berpesta dengan membuat perlindungan di balik benda-benda yang keras.

Apa yang terjadi dengan penembokan dan pengaspalan itu? Tanah tak lagi bisa bernafas. Kalau Ahok – Djarot rajin berjalan kaki ataupun menaiki sepeda motor pada hari yang panas, alangkah menderitanya hidup seperti kue bika di Jakarta. Dari bawah dipanggang panas yang lama hilang di aspal dan tembok, dari atas disinari terik matahari akibat lapisan ozon yang kian menipis.

Kemana bangkai-bangkai hewan-hewan kecil yang bisa jadi humus itu, tatkala ruang hidupnyapun digusur secara semena-mena? Apakah markas-markasa pemenangan Ahok bisa menampung lebih banyak bangkai tikus lagi? Wallahu’Alam

Jakarta, Pukul 00:00, Rabu, 26 Oktober 2016