Munculnya Fenomena Kotak Kosong Pilkada 2024, Gde Siriana: Sangat Mungkin Format Pilkada Solo Diterapkan
JAKARTASATU.COM— Jelang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 yang akan dilaksanakan secara serentak, istilah kotak kosong kembali untuk kepermukaan. Istilah Kotak kosong bukan berarti kotak suara yang kosong, melainkan munculnya calon tunggal yang tidak memiliki saingan, sehingga dalam surat suara, posisi lawan dinyatakan dalam bentuk kotak kosong.
Adanya calon tunggal tidak lantas membuat calon tunggal tersebut serta merta secara aklamasi diangkat menjadi kepala daerah. Oleh karena itu, dalam sistem Pilkada dikenal adanya pemilu antara pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong.
Direktur Eksekutif INFUS, Gde Siriana Yusuf kemukakan pandangannya terkait fenomena kotak kosong di sejumlah Pilkada. Hal itu disampaikan kepada redaksi Jakartasatu saat dihubungi, Selasa 6/8/2024.
“Fenomena kotak kosong secara umum dapat diartikan kemunduran demokrasi. Tapi secara spesifik, dalam konteks politik kekinian, ini disebabkan orang tidak lagi percaya dengan sistem politik dan partai politik,” kata Direktur Eksekutif INFUS, Gde Siriana Yusuf
“Kalau supra struktur sudah mencengkram infrastruktur dengan kekuatan hukum dan logistik, bagaimana mungkin ada kontestasi politik yang demokratis?” imbuh kandidat doktor ilmu politik ini.
“Kedua, karena budaya politik dari partai politik menunjukkan budaya hypocrisy atau kemunafikan. Manuver partai-partai politik sudah dapat ditebak ujungnya. Awalnya seakan-akan memperjuangkan gagasan dan idealisme, ujungnya kompromi dengan kekuasaan,” terangnya.
Ia menilai orientasinya hanya kemenangan, kekuasaan dan jabatan. Tidak ada lagi diferensiasi ideologis pada partai-partai politik. Semua partai politik sangat cair. Di pusat berkelahi, tapi di daerah dapat berkoalisi.
“Alasan ketiga, cawe-cawe kekuasaan di kontestasi politik semakin membudaya. Dengan logistik yang kuat, penguasa dianggap dapat menentukan pemenang kontes politik. Caranya ya macam-macam. Ya..siapa yang mau keluar uang banyak tapi sudah yakin akan kalah dengan calon pilihan penguasa?” ungkap Aktivis KAMI ini.
Alasan ke empat tutur Gde Siriana, persyaratan threshold memungkinkan para kandidat potensial kebingungan untuk mendapatkan rekomendasi parpol. Bahkan sangat mungkin mereka gagal mendapatkan rekomendasi parpol. Koalisi pemenang Pilpres yang terus membesar dengan tambahan parpol menutup peluang kandidat potensial yang tidak dikehendaki ikut Pilkada
Sebagai penutup, Gde Siriana menambahkan “jika fenomena ini berlanjut, saya pikir barangkali format Pilkada Solo akan diterapkan. Untuk hindari kotak kosong maka akan dibuat kandidat semu, yang bisa diusung oleh parpol tersisa, atau jalur independen.” tandasnya.
Diketahui, Pilkada hanya diikuti satu calon dan melawan kotak kosong pernah terjadi di Pilkada Makassar dan Sumatra Barat pada lima tahun lalu. Kini, fenomena tersebut mulai terlihat saat kandidat tertentu memborong semua partai politik untuk mendukungnya. (Yoss)