Foto: Prof Mahfud MD, dok. infobanknews

JAKARTASATU.COM– Prof Mahfud MD menegaskan bahwa merdeka berjilbab itu hasil perjuangan yang tidak mudah. Sebab dahulu, kata dia, orang berjilbab itu diejek sebagai anak madrenges, anak madrasah (lulusan sekolah agama di kampung) yang bodoh dan terbelakang, padahal mereka cerdas-cerdas.

“Di era Orde Baru, saat Daoed Joesoef menjadi Menteri Dikbud periode 1978-1983, bahkan pernah ada larangan anak-anak masuk sekolah memakai jilbab. Protes-protes bermunculan dari lapisan masyarakat,” ungkap Prof Mahfud, lewag akun X-nya, Jumat (16/8/2024).

“Barulah di era reformasi memakai jilbab menjadi bagian dari kemerdekaan berkeyakinan. Para ibu profesor di kampus2, ibu pejabat atau isteri pejabat banyak yg bejilbab saat berkantor,” imbuhnya.

Bahkan kata mantan Menko Polhukam itu, di Polri, polwan pun boleh berjilbab dalam tugas di lapangan. “Bahkan pada era Kapolri Soetarman model pakaian jilbab polwan disahkan secara resmi dan kita banyak melihat polwan berjilbab di berbagai tempat,” terangnya.

Meski masalah jilbab itu masalah biasa tetapi masih saja ada yang menganggap pemakainya sebagai ektremis-radikal. Sama halnya, jika ada bapak pejabat, rektor, profesor membawa sajadah dan memakai baju koko serta bersongkok lalu ada yg menuduh radikal-ektremis dan anti Pancasila dan anti NKRI.

Padahal mereka kata Mahfud, adalah pecinta dan pembela Pancasila dan NKRI yang sedang menerapkan kesalihan atau kebaikan menurut keyakinannya tanpa melanggar konstitusi dan hukum.

“Banyak yang tidak bisa membedakan antara ekstremis-radikal dan orang salih yg taat beragama,” singgungnya.

Menurutnya, di Indonesia merdeka berdasar konstitusi ini, tidak boleh ada kewajiban maupun larangan terhadap orang mau berjilbab atau tidak. Jilbab tidak diwajibkan tetapi juga tak boleh dilarang seperti halnya kita tidak boleh melarang orang memakai rok, jas, atau baju batik. (RIS)