Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Saat ini, media sosial Indonesia tiba-tiba dihebohkan oleh sebuah fenomena unik: bau keringat Erina Gudono yang mendadak viral dan menjadi trending topic diberbagai platform sosmed. Meruaknya pembicaraan mengenai bau ketiak Erina bermula dari cuitan warganet yang mengaku mendapatkan info dari orang dalam. Kabarnya sosok orang dalam yang dimaksud notabene merupakan teman satu kelas Erina saat mereka kuliah.
“Aku tidak sudah menjatuhkan perempuan, tapi karena dia mirip sosok Marie-Antoinette, kata temen gue dia keteknya bau,” cuit warganet tersebut sosmed. Bak gayung bersambut, kesaksian tersebut mendapat pembenaran dari salah satu mantan finalis Puteri Indonesia yang pernah menjadi saingan Erina dahulu kala. Dus urusan bau ketiak ini pun segera menjadi bahan perbincangan hot di media sosial, menciptakan meme, sindiran, dan diskusi yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan viralitas bau ketiak ini juga segera dimanfaatkan sejumlah warganet untuk mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi lewat tagar #BauKelekOligarki yang trending di X.
Penyebabnya tidaklah sepele. Erina Gudono yang notabene menantu Presiden Jokowi Bersama suaminya Kaesang Pangarep, dianggap tidak memiliki kepekaan sosial karena tanpa segan telah melakukan pamer gaya hidup mewah di Amerika Serikat –belanja stroller bayi puluhan juta, naik private jet sampai makan roti Rp400 ribu, ketika kondisi politik di Indonesia sedang memanas dan dianggap memprihatinkan.
Jika dilihat dari perspektif semiotika, kita dapat menemukan bahwa bau keringat Erina Gudono adalah lebih dari sekadar bau badan biasa; ia adalah sebuah simbol yang mencerminkan sesuatu yang lebih besar. Bau ini menjadi semacam kode, sebuah tanda yang merujuk pada isu-isu yang lebih mendalam di masyarakat kita, terutama ketika dihubungkan dengan kondisi politik dan pemerintahan saat ini.
Bau Keringat dan Semiotika Sosial
Dalam kajian semiotika, setiap tanda—baik itu visual, auditori, maupun olfaktori (bau)—memiliki makna yang berlapis-lapis. Bau keringat Erika bisa dibaca sebagai representasi dari “kebobrokan” yang ada di sekitar kita, khususnya dalam konteks politik. Bau tersebut, yang pada awalnya hanyalah sebuah aspek fisik, kemudian dijadikan metafora oleh netizen untuk menggambarkan situasi yang lebih kompleks, seperti krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam dunia politik, “bau keringat” bisa diasosiasikan dengan kerja keras, ketulusan, dan pengorbanan. Namun, ketika asosiasi ini dibelokkan, bau keringat bisa menjadi representasi dari sesuatu yang kotor, tidak bersih, dan penuh dengan intrik. Inilah yang kita lihat dalam reaksi publik terhadap fenomena Erina Gudono. Bau tersebut tidak lagi hanya milik individu, tetapi berubah menjadi metafora kolektif yang mencerminkan bau kebobrokan pemerintahan.
Ambisi Politik dan Bau Kebobrokan
Di tengah semakin dekatnya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), isu-isu mengenai pemerintahan yang korup, manipulatif, dan tidak transparan semakin mencuat. Rakyat yang sudah lama merasa tertindas dan dikecewakan oleh janji-janji manis yang tak kunjung terwujud mulai mencari cara untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Bau keringat Erika, yang awalnya hanyalah topik ringan di media sosial, secara tidak langsung menggerakkan kesadaran kolektif tentang “bau” yang sebenarnya ada di dalam pemerintahan saat ini.
Bau kebobrokan ini, yang berasal dari ambisi politik segelintir elit, akhirnya memicu reaksi yang lebih besar dari masyarakat. Dalam beberapa minggu terakhir, kita menyaksikan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia turun ke jalan. Mereka tidak hanya memprotes kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, tetapi juga menuntut perubahan radikal dalam cara negara ini dikelola. Demonstrasi besar-besaran ini bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap “bau” yang sudah terlalu lama dibiarkan oleh pemerintah.
Menarik Kesimpulan dari Bau
Kisah tentang bau keringat Erina Gudono menunjukkan kepada kita bahwa isu-isu sosial dan politik bisa hadir dalam bentuk yang tak terduga. Dalam hal ini, bau menjadi semacam pemicu, sebuah tanda yang membangkitkan kesadaran kita tentang masalah yang lebih besar.
Fenomena ini juga mengajarkan kita bahwa dalam masyarakat yang semakin kritis, bahkan hal yang sekilas remeh seperti bau keringat bisa berubah menjadi simbol perlawanan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dan para pemimpin politik harus lebih waspada. Bau ambisi politik yang tidak sehat bisa dengan cepat tercium oleh rakyat, dan ketika itu terjadi, kita mungkin akan melihat lebih banyak demonstrasi, lebih banyak tuntutan perubahan, dan lebih banyak perlawanan.
Pada akhirnya, yang kita perlukan bukanlah parfum tau deodoran mahal untuk menutupi bau kebobrokan, tetapi perbaikan mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Hanya dengan begitu, bau segar reformasi bisa benar-benar tercium di negeri ini. Tabik.