JAKARTASATU.COM – Capres PDIP Joko Widodo tampaknya selalu akrab dengan media massa dalam dua muka. Setelah heboh iklan hitam pengumuman atas kematian dirinya, di hari-hari terakhir ini Jokowi dipermasalahkan gara-gara konsep Revolusi Mental yang diusungnya.
Awal masalah sebenarnya datang dari pihak Jokowi sendiri. Entah lupa, atau terlanjur gembira mendapatkan ruang di media massa, pada Sabtu (10/5) lalu dua tulisan berjudul sama ‘Revolusi Mental’ terpampang di dua media cetak. Tentu, hanya karena mereka alpa itu semua terjadi. Tulisan pertama atas nama Jokowi dan dimuat di halaman opini Kompas, sementara tulisan lainnya beratasnamakan Romo Benny, sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi WaliGereja Indonesia (KWI) dimuat koran Sindo pada rubrik yang sama.
Tentu saja tak ada masalah, seandainya kedua tulisan itu memaparkan soal yang secara esensial berbeda. Ini, keduanya tidak. Paling tidak begitulah komentar seorang wartawan, Nanik S Deyang. Menurut dia, kedua tulisan itu sama. Tentu saja keduanya tidak mesti kongruen.
“Saat membaca opini di koran Sindo yang ditulis Romo Benny, saya kembali kaget, karena bertajuk dan beresensi sama, kendati ada perbedaan dalam struktur kalimat yang disusun,” kata Nanik.
Berdasarkan penelusuran sang wartawan pula, terkuak bahwa Romo Benny Susetyo adalah anggota Tim Sukses Jokowi. “Saya iseng telepon kawan yang masih ada di seputar Jokowi, dan dapat kabar, ternyata Romo Benny Susetyo itu Tim Sukses Jokowi,” tulis di laman facebook miliknya.
Secara tersirat, Nanik meyakini kedua penulis itu sama. Dan bukan Jokowi, karena,” Selain waktunya tidak ada, rasanya dia bukan orang yang pandai menyusun kalimat. Tapi entahlah, mungkin setelah sy tdk bertemu 8 bulan ini, pak Gubernur yg sekarang Capres ini, bisa jadi sudah lihai menulis. Tapi sudahlah, soal menulis kan bisa saja dituliskan oleh orang di sekitarnya termasuk Anggit, kawan karibnya yg jadi think tank-nya selama ini. Seperti dulu, kalau menjawab pertanyaan wartawan secara tertulis,” tulis Nanik kembali.
Bila Nanik mempertanyakan keberadaan Romo Benny sebagai anggota Tim Jokowi, bukan itu yang kami persoalkan. Sejatinya, kami mungkin tak akan mempersoalkan apa pun. Bagi kami, hak Jokowi sepenuhnya untuk menggandeng siapa pun sebagai bagian dari tim suksesnya. Tak hanya Romo Benny, bahkan seandainya Kardinal Mgr Julius Riyadi Darmaatmadja masih punya waktu untuk membantu Jokowi, mengapa tidak?
Bukankah itu lebih baik, agar Jokowi yang Muslim itu berkenalan dengan pola pikir lain berasaskan nilai-nilai agama selain yang ia anut? Dalam hubungannya dengan calon pemilih Jokowi, setidaknya agar mereka tahu Jokowi begitu bersikap terbuka dengan menyilakan ide-ide baru selain yang berakar dari pemikiran yang selama ini menjadi bagian hidupnya.
Itu karena kami meyakini satu hal: manusia punya pandangan hidup yang mengarahkan langkah kakinya. Artinya, manakala Jokowi—kalaupun benar demikian, mempercayakan Romo Benny menjadi think thank-nya, Jokowi percaya ketidaksamaan pola pikirnya dengan Romo Benny itu akan memperkaya cara tindaknya. Memperbanyak jalan, menambah peluang pilihan. Asal tentu, semua jangan membuatnya bingung.
Umumnya orang percaya, tingkah laku dan perbuatan seseorang dimotivasi dan diarahkan pandangan hidupnya. Barangkali karena itulah kita mengenal epistemology alias filsafat ilmu. Kadang orang membaginya lagi kepada ortodoksi, alias ajaran-ajaran fundamental yang abstrak, dan ortopraksi, ajaran tindak yang bisa diaktualkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku dan perbuatan orang, kabarnya, didasari ortopraksi ini.
Bila Jokowi mempercayai seseorang dengan latar belakang pandangan hidup yang berbeda dengan dirinya, itu bisa berarti banyak. Setidaknya, secara sederhana, itu bisa jadi karena Jokowi menganggap pandangan hidup (pandangan dunia) orang yang ia percaya itu tak masalah. Atau, mungkin saja Jokowi pun meyakini kebenaran pandangan hidup tersebut. Salah? Kami tak punya otoritas untuk menghakimi pilihan sikap seseorang.
Ah, bukankah dalam sejarah Islam pun kita tahu ada peran non-Muslim dalam beberapa kejayaan Islam. Ada orang Jerman yang menjual meriam canggih masa itu kepada Al Fatih saat penaklukan Konstantinopel. Ada para ahli militer bangsa Slav yang memperkuat Dinasti Islam Fatimiyah. Ada kelompok militer terkemuka Janisary yang non-Muslim yang sangat dipercaya Kesultanan Turki Usmani.
Atau, mungkin saja contoh-contoh saya di atas tak relevan dan salah. (Inilah)