Pacta Sunt Servanda: Janji yang Hilang di Ujung Lidah
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Pencitraan dan Iklan
Ah, Pacta Sunt Servanda. Gara-gara jargon ini, Silfester Matutina,Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) memaki-maki Rocky gerung dengan emosional dan melontarkan kata-kata kasar di dalam acara talkshow yang ditonton banyak khalayak.
Memang, dalam debat tersebut, Silfester nampak gagap dalam memahami penjelasan Rocky. Padahal Pacta Sunt Servanda adalah prinsip kuno yang begitu megah dalam hukum, seolah-olah sebuah bintang terang yang mengarahkan kita semua pada kesopanan tertinggi: janji itu sakral, wajib ditepati.
Laiknya sebuah cinta pertama, Pacta Sunt Servanda selalu datang dengan ekspektasi indah bahwa kita percaya bahwa janji akan dihormati, kata-kata akan dijaga. Namun yang terjadi justru seperti kisah cinta yang kerap tak berujung bahagia, prinsip ini malah sering dilupakan, disalahpahami, dan diabaikan begitu saja.
Kita hidup di dunia yang semakin memudarkan makna janji. Padahal, perjanjian adalah tiang penyangga kepercayaan—dari kesepakatan antarnegara hingga perjanjian sepele tentang siapa yang akan menggantikan galon air di rumah. Prinsip ini mengatakan: “Kalau sudah janji, ya ditepati.” Simpel kan? Sesederhana petunjuk cara membuat mie instan yang dituliskan dalam kemasannya. Faktanya, mengapa banyak yang tak kunjung paham?
Mari kita lihat di level tertinggi. Negara-negara duduk manis menandatangani perjanjian perubahan iklim, berjanji untuk menyelamatkan bumi. Janji untuk mengurangi emisi karbon? Berkoar-koar di panggung dunia, tersenyum saat kamera menyorot. Tapi begitu pulang, mereka lebih sibuk menghitung pundi-pundi uang dari industri bahan bakar fosil yang tak jarang jadi ajang korupsi. “Iya, janji akan ditepati… nanti. Setelah kita selesai membangun satu-dua pabrik batu bara lagi.”
Lalu, ada juga perusahaan yang dengan santainya mengabaikan Pacta Sunt Servanda. Tahu janji gaji? Itu cerita klasik. Kontrak ditandatangani, dengan penuh semangat dijanjikan bonus, jaminan kesehatan, dan segalanya. Tapi ketika waktu tiba, tiba-tiba perusahaan mengalami “penyesuaian ekonomi.” Uang bonus? Oh, entah hilang di mana. “Sabar ya, situasi ekonomi lagi sulit.” Padahal, bos besarnya baru saja beli mobil baru. Begitu klise, begitu ironis.
Di antara hiruk-pikuk politik, Pacta Sunt Servanda berubah menjadi bahan guyonan dalam pidato kampanye. Setiap lima tahun sekali, kita disuguhi tontonan politisi yang penuh gairah menyuarakan perubahan, janji pembangunan, janji reformasi, janji kemakmuran. Tapi begitu kursi empuk kekuasaan berhasil diduduki, lima tahun, sepuluh tahun, janji-janji itu menguap seperti embun di pagi hari. Mereka lupa siapa yang mereka janjikan, lupa apa yang dijanjikan. Mungkin mereka pikir kita juga mudah lupa. Bahkan dengan arogan Ketika janjinjya dipertanyakan, dijawab Undang-Undang mana dan pasal berapa yang dilanggar? Atau yang lebih menggelikan dijawab dengan seloroh, “YNTKTS” — Yo Ndak Tahu Kok Tanya Saya? Waduh?
Ah, janji tinggal janji, kini rakyat hanya bisa menikmati reruntuhan retorika kosong yang ditinggalkan. Ndeso!!! Padahal, semestnya janji adalah tentang rasa saling percaya. Di dunia yang penuh dengan kesulitan ini, kita semua menggantungkan hidup kita pada janji orang lain. Anak kecil percaya pada janji orang tuanya untuk pulang lebih cepat dari kerja. Pasangan percaya janji cinta yang takkan putus. Rakyat percaya pada janji pemimpin mereka. Namun, ketika janji hanya jadi kalimat kosong yang dilontarkan untuk meredam kegelisahan sesaat, kepercayaan itu pun perlahan hancur.
Bagaimana bisa kita menghancurkan sesuatu yang seharusnya begitu sakral? Seakan Pacta Sunt Servanda ini hanyalah aksesoris, kata-kata yang dipakai untuk pamer di rapat atau pidato resmi, namun tak lebih dari mantra tak bermakna dalam kenyataan. Kita sudah sampai pada titik di mana kata “janji” tak lagi diartikan sebagai sesuatu yang mengikat. Kata itu berubah menjadi karet elastis, siap ditarik dan dilepas kapan saja, sesuai kebutuhan.
Lalu apa yang tersisa dari kita, manusia? Apakah kita akan terus hidup dalam kebohongan kolektif, meyakini bahwa janji hanyalah alat negosiasi? Atau kita akan terus berpura-pura bahwa prinsip Pacta Sunt Servanda ini masih hidup, meskipun di dalam hati kita tahu, setiap kali janji dibuat, ada peluang besar janji itu akan dilanggar?
Sebenarnya, bukan prinsip Pacta Sunt Servanda yang salah, tetapi manusia yang semakin enggan menaatinya. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin terbiasa dengan ketidakpastian, di mana kata-kata tak lagi berarti, dan janji-janji hanyalah asap. Dunia ini akan terus bergerak, dan kita akan terus memutar roda kehidupan, tapi dengan satu perasaan yang tertinggal: kecewa.
Mungkin, pada akhirnya, prinsip ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang fundamental—rasa hormat terhadap kepercayaan. Pacta Sunt Servanda seharusnya adalah janji bahwa kita masih manusia, bahwa kata-kata kita memiliki bobot dan nilai. Jika kita terus melanggarnya, apa yang tersisa dari kita selain lidah yang ringan, dan hati yang hampa? Tabik.
JAKARTASATU.COM- Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI Pusat) KH Cholil Nafis mengunggah Keputusan Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Kepala...
Prabowo Usul Kepala Daerah Dipilih Oleh DPRD, Ini Reaksi Pengamat dan Partai
JAKARTASATU.COM-- Presiden Prabowo Subianto menyampaikan wacana Kepala Daerah kembali dipilih oleh DPRD dengan...
JAKARTASATU.COM- Ketum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum ikut bersuara soal wacana pemilihan kepala daerah (kada) oleh DPRD. Menurutnya perlu pertimbangan matang. Jangan langsung...
JAKARTASATU.COM- Pemerhati sekaligus Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan semua pihak bahwa perubahan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala...
JAKARTASATU.COM - Dalam menghadapi tantangan era digital, Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI terus mendorong mahasiswa untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi. Salah...