Ilustrasi AI membuka wajah asli WAW
Ilustrasi AI membuka wajah asli WAW

Maafkan Aku yang Dulu: Jejak Digital, dari Idealisme ke Pragmatisme

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Dulu aku berbeda. Ya, yang dulu lantang berteriak, kini mendadak bisu. Dahulu aku adalah pejuang moral yang tak kenal kompromi, kini aku adalah realis, katanya. Oh, kalian mungkin tak percaya? Coba lihat jejak digitalku, kisah evolusiku ada di sana, tersimpan rapi di lautan data internet. Aku tahu kalian pasti bingung, dulu aku berjanji setia pada idealisme, tapi sekarang, bukankah pragmatisme lebih menjanjikan? Hei, hidup tak sehitam-putih itu, kawan!
Lihatlah, dulu aku lantang menentang korupsi. “Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu!” kataku di setiap orasi. Aku bahkan sempat jadi pahlawan dadakan di media sosial. Tapi, saat ini, setelah berteman dengan kenyataan, rasanya sulit sekali membedakan mana hitam mana putih. Ah, tapi itu karena aku dulu terlalu emosional, terlalu idealis! Sekarang? Realistis dong! “Korupsi itu bagian dari dinamika politik,” kataku yang sekarang. Lagipula, siapa yang bisa bertahan hidup kalau terus-menerus main bersih? #RealitaBro.
Lalu tentang reformasi? Oh, jelas aku yang dulu bakar-bakaran ide di jalan, turun ke lapangan demi perubahan yang lebih baik! Tapi, itu dulu, saat semangat juang mengalir deras, saat aku masih mahasiswa yang punya energi tanpa batas. Sekarang? Wah, sudah punya jabatan tinggi, tanggung jawab banyak. Kita tak bisa terlalu keras, kawan. “Sabar, perubahan itu bertahap,” kataku. Ini bukan berkhianat, ini dewasa, paham?
Dulu, aku kritis. Siapa pun yang berani mencuri dari rakyat, akan ku lawan! Pemerintah yang menindas, harus dikritisi habis-habisan. Tapi sekarang? Ah, aku lebih permisif, lebih paham “politik itu seni kemungkinan”. Bukankah sebaiknya aku berkolaborasi saja? Aku bukan menutup mata, aku hanya lebih bijak. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kritikan, ada kalanya diam adalah emas—atau, setidaknya, tiket untuk bertahan di kursi empuk ini.
Aku yang dulu sering bicara soal keadilan sosial. Tak bisa ada jurang kaya miskin yang terlalu lebar! Tapi sekarang, hei, bukankah ketimpangan itu keniscayaan ekonomi pasar bebas? Kalau semua sama rata, siapa yang akan menjadi pemimpin? Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara soal distribusi kekayaan, yang penting kita tumbuh! Lagipula, kalau aku tak mendapat bagian dari pertumbuhan ini, bagaimana aku bisa membantu rakyat? #PolitikLogika.
Jejak digital tak pernah bohong. Kalian bisa melihat sendiri bagaimana dulu aku melawan kepentingan elite, menentang segala bentuk monopoli kekuasaan. Sekarang? Ya, sekarang aku belajar bahwa bergabung dengan elite bukan berarti aku mendukung mereka, tapi justru untuk “mengubah dari dalam”. Luar biasa bukan? Setidaknya, begitulah aku membujuk diriku setiap kali melihat wajahku di cermin yang makin penuh kebanggaan—eh, maksudku, kebijaksanaan.
Ini semua bukan tentang berubah, tapi beradaptasi! Idealismeku? Masih ada, kok, tertanam jauh di lubuk hati, tepat di sebelah pragmatismeku yang sedang bersinar terang. Aku bukan munafik, aku hanya realistis, kawan. Dunia berubah, kita pun harus menyesuaikan diri. Tidak semua janji bisa ditepati, bukan? Lagipula, apa kalian akan tetap setia pada mimpi-mimpi lama ketika kesempatan besar sudah mengetuk pintu?
Dulu, aku mungkin terkesan garang, emosional, penuh idealisme yang meledak-ledak. Sekarang, aku lebih dewasa, lebih tahu cara memainkan permainan ini. Politik bukan tentang siapa yang benar, tapi siapa yang bertahan paling lama. Idealisme? Ah, itu bagus untuk masa muda. Tapi hidup ini panjang, dan aku tak ingin jatuh di tengah jalan karena terus bermimpi.
Jadi, begitulah kisahku. Aku bukan yang dulu lagi, karena dulu aku belum tahu banyak. Sekarang, aku lebih tahu—atau setidaknya, aku lebih pandai mencari alasan. Lagipula, siapa yang butuh idealisme ketika pragmatisme bisa membawamu lebih jauh?
Jadi, maafkan aku yang dulu ya. Aku memang bukan eperti yang dulu lagi. Tapi bukan munafik kok, hanya pragmatis aja. Wokeh..