Bukan “Pasir” Melainkan “Sedimen”
Bukan “Mogok” Tapi “Cuti Bersamaan”
Prof Pierre Suteki
Sebagaimana diwartakan diberbagai media massa, Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menyodorkan draf revisi PP 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ke Mahkamah Agung. Salah satu agenda hari pertama aksi ‘mogok’ kerja atau cuti bersamaan atau “berjamaah” para hakim se-Indonesia yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia melakukan audiensi ke pimpinan Mahkamah Agung di Gedung MA, Senin (7/10/2024). Para hakim tersebut menyuarakan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan profesi Hakim yang selama ini terabaikan dalam 12 tahun terakhir.
Rencana Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia pada 7—11 Oktober 2024 mendatang terus mendapat sorotan berbagai kalangan terutama lembaga peradilan. Aksi yang digagas Solidaritas Hakim Indonesia bakal berlangsung selama lima hari dilakukan sebagai bentuk protes, menyuarakan aspirasi terkait minimnya kesejahteraan yang selama ini diterima para hakim di Indonesia.
Salah satu aksi “mogok sidang” sebagai tindak lanjut aksi cuti bersama berjamaah adalah aksi yang dilakukan oleh hakim-hakim di PN Makasar dengan beberapa tuntutan pokoknya (detiksulsel, 7/10/2024). Berikut ini tuntutan hakim PN Makassar dalam aksi mogok kerja:
Pertama, meminta Negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pemenuhan hak hakim atas kesejahteraan dan perumahan dengan melakukan revisi terhadap PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013, dan melakukan penyesuaian atas kondisi ekonomi faktual saat ini, serta mempertimbangkan besarnya tanggung jawab profesi hakim dan menyesuaikan dengan standar hidup yang layak. Revisi yang kami harapkan tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek atau saat ini saja, namun kami berharap Pemerintah melakukan penyesuaian secara berkala setiap tahunnya terhadap hak atas keuangan para hakim.
Kedua, mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan pemenuhan hak atas fasilitas yang layak bagi Hakim, utamanya hak atas perumahan, transportasi dan kesehatan. Terhadap hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terpencil, dan di daerah kepulauan agar dapat diberikan tunjangan kemahalan, dan khusus terhadap Hakim Ad Hoc agar dapat diberikan tunjangan pajak (PPH 21) dan tunjangan purna tugas.
Ketiga, mendorong Negara dalam hal ini Pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi Hakim dalam pelaksanaan tugasnya yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, juga mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk membahas dan mengesahkan RUU Contempt of Court yang memberikan perlindungan bagi kehormatan pengadilan.
Keempat, mendorong Negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk pengesahan RUU Jabatan Hakim. Beberapa peraturan per-UU-an pada fungsi yudikatif telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Baik Hakim karir maupun Hakim Ad Hoc secara bersama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu baik Hakim Karir maupun Hakim Ad Hoc sebagai pelaksana fungsi yudisial harus ditetapkan sebagai pejabat negara.
Para Hakim berjanji untuk:
1. Menjaga integritas, kemandirian, kejujuran
2. Memberikan pelayanan yang profesionalitas kepada masyarakat pencari keadilan.
3. Memberikan pelayanan yang akan akuntabel, responsif dan keterbukaan.
4. Memberikan pelayanan yang tidak berpihak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pro-kontra pasti terjadi dalam menyikapi aksi para hakim yang nota bene konon dianggap sebagai “wakil tuhan di bumi” dalam mengadili dan memutus perkara dan sengketa di antara warga masyarakat. Aksi pun menuai perdebatan khususnya dalam menggunakan diksi “mogok”. Apakah hakim itu pekerja biasa seperti buruh pabrik yang memang di UU Ketenagakerjaan diberi hak untuk mogok. Dalam Pasal 137 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, mogok kerja itu harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan. “Sah” disini artinya adalah mengikuti prosedur yang diatur oleh Undang-Undang. “Tertib dan damai“ artinya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan tidak mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan, pengusaha atau milik masyarakat. Di sisi lain, Hakim itu ASN, tidak ada hak yang diberikan oleh UU ASN dan UU Kekuasaan Kehakiman memberikan hak untuk mogok. Jadi, istilah mogok untuk menuntut suatu perbaikan kesejahteraan atau hak lainnya itu justru akan menurunkan muruah.
Oleh karena itu, cerdas tindakan SHI yang tidak menggunakan diksi mogok melainkan “cuti bersama serentak (berbarengan)”. Artinya, para hakim tidak mogok melainkan secara berbarengan menggunakan haknya untuk mengambil masa cuti secara bersamaan. Kita tidak perlu membesarkan soal hakim sebagai wakil Tuhan semata, melainkan juga memandang mereka juga sebagai manusia yang berhak untuk memperoleh kesejahteraannya sebanding dengan tanggung jawabnya sebagai benteng terakhir dalam pencarian keadilan dan kebenaran (searching the justice and the truth). Penggunaan diksi cuti bersama bareng untuk menggantikan diksi mogok saya kira merupakan tiruan penggunaan diksi yang sering dipilih oleh pimpinan negara untuk “mengelabuhi” kebijakan absurdnya. Misalnya untuk menyiasati adanya larangan ekspor pasir, maka agar dinilai legal. maka diksinya diganti, bukan ekspor pasir melainkan ekspor “sedimen”. Diksi itu bisa dipandang sebagai cara memyiasati secara normatif untuk menghindar dari ketentuan UU.
Elman Saragih (Jurnalis Senior Media Indonesia tanggal 8 Oktober 2024) dan beberapa pemirsa dalam acara Editorial MI, secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi cuti bersama berjamaah yang pada intinya dinilai akan menurunkan muruah para hakim yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Elman menyatakan bahwa aksi itu tidak pantas dilakukan karena ia yakin bahwa para hakim itu sudah sejahtera, lebih sejahtera dibandingkan rakyat kebanyakan. Aksi mogok juga akan berdampak pada hak pencari keadilan yang tidak pernah mogok untuk mencari keadilan. Elman juga mempertanyakan soal sikap MA dalam menghadapi aksi ini. Mengapa MA tidak segera menyelesaikan masalah ini sedini mungkin sehingga aksi ini tidak perlu terjadi. Pemerintah secara umun juga disarankan untuk hati-hati agar tuntutan aksi ini tidak secara gegabah dipenuhi karena bisa menjadi preseden untuk profesi penegak hukum lainnya, misalnya polisi dan juga jaksa.
Berbeda dengan sikap junalis Media Indonesia, Ikatan Alumni FH Undip (IKA FH UNDIP) mendukung aksi ini dengan menerbitkan surat pernyataan yang pada intinya mendukung aksi cuti bersamaan dalam rangka menuntut adanya perbaikan kesejahteraan dan perlindungan jabatan para hakim. Terkait dengan aksi “cuti bersama bareng” para hakim ini saya berpendapat bahwa sebagai pegawai negeri (ASN) secara normatif memang diperbolehkan untuk mengambil cuti, apakah secara sendiri-sendiri atau pun cuti secara bersamaan terlepas dari dikoordinasikan atau pun tidak. Dan hak untuk cuti itu berizin. Sepanjang pimpinannya memberikan izin, maka izin cuti itu sah. Hak itu boleh dilakukan apalagi jika aksi tersebut juga tidak dilakukan dalam rentang waktu yang lama, hanya berlangsung selama 5 hari (tanggal 7 s/d 11 Oktober 2024). Dan menurut pengamatan saya, meski berstatus cuti bersama bareng, perkara yang urgen tetap disidangkan, misalnya terhadap perkara yang terdakwanya menjelang habis masa penahanannya dalam tahap pemeriksaan di Pengadilan. Jadi, tidak serta merta melakukan mogok memeriksa perkara selama 5 hari kerja tersebut dan pelayanan pengadilan selain sidangpun masih tetap berjalan normal.
Aksi ini sebenarnya juga dapat dilihat sebagai puncak ketidakpuasan yang selama ini dialami oleh para hakim terkait dengan kesejahteraan menyangkut gaji pokok, tunjangan, pensiun dan tunjangan kemahalan. Tampaknya memang perlu segera direvisi PP No. 94 Tahun 2012 (sudah 12 tahun), untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang ini. Jika kesejahteraan para hakim juga diperbaiki, maka semestinya kesejahteraan para pegawai negara lainnya juga diperbaiki sesuai dengan kempampuan pemerintah dlserta situasi dan kondisi terkini. Apakah ada hubungan signifikan antara tingkat kesejahteraan pegawai dengan profesionalitasnya? Pasti ada, setidaknya ketika sudah sejahtera maka niat untuk berperilaku korup dapat diminimalkan kecuali jika pegawai tersebut memang berwatak rakus (greedy).
Mulai sekarang sebaiknya tidak memosisikan hakim itu sebagai wakil Tuhan karena memang tidak ada hukum Tuhan (devine law) yang dibebankan kepada para hakim, melainkan mereka adalah wakil negara dalam memeriksa dan memutus perkara dalam rangka untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran (bringing justice and the truth) di tengah masyarakat berdasarkan hukum manusia (human law). Hakim dan keluarga juga hanyalah manusia yang berhak untuk diperhatikan kesejahteraan dan perlindungan hukum atas jabatannya. Hanya jika mereka sudah selesai dengan dirinya sendiri akan mampu untuk menyelesaikan perkara atau sengketa orang lain yang diajukan di pengadilan secara profesional, bermartabat dan tetap terjaga muruahnya.
Kembali ke titel artikel ini, permainan pilihan kata (diksi) seringkali menghilangkan makna sesungguhnya kata tersebut. Dan permainan diksi ini seringkali dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk menyiasati kebijakan dan atau tindakan yang sebenarnya digunakan untuk menghindari jerat norma hukum atau pun moral. Bukan gratifikasi karena hanya nebeng, bukan ekspor pasir melainkan ekspor sedimen. Maka jangan salahkan jika para hakim juga memilih diksi: bukan “mogok” melainkan hanya “cuti bersamaan atau cuti berjamaah”.
Tabik!
Semarang, 8 Oktober 2024