OLEH JAYA SUPRANA
Petang hari 18 Januari 2017 saya didampingi Direktur Utama MURI, Aylawati Sarwono, pemuka masyarakat Luar Batang, Daeng Mansyur, penggerak pemuda Katolik, Maria Ninis beserta laskar kerabat kerja MURI menjenguk sesama warga Indonesia yang sedang mengungsi di tenda dan bedeng di atas puing Pasar Ikan, Luar Batang, Jakarta Utara.
Mereka terpaksa mengungsi bukan akibat bencana alam atau bencana peperangan namun sekedar akibat bencana penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah daerah khusus istimewa Jakarta pada hari Senin 11 April 2016 dengan alasan klise-klasik menggetar sukma yaitu pembangunan kota Jakarta menjadi lebih tertib, aman, sehat, sejahtera dan bebas banjir.
Kisah penggusuran dramatis akibat memperoleh perlawanan dari ratusan rakyat yang tentu saja tidak berdaya melawan ribuan anggota satuan polisi pamong praja didampingi polri dan TNI seperti telah sukses terlaksana pada penggusuran Kampung Pulo dan Kalijodo.
Menakjubkan, bagaimana keberhasilan menggusur rakyat tidak berdaya ternyata dielu-elukan sebagai bukti keberanian bahkan kepahlawan pembangunan.
Ketika menyaksikan kondisi kontemporer Pasar Ikan, Aylawati Sarwono menganalogkan Pasar Ikan dengan Allepo. Saya pribadi menganggap tragedi Pasar Ikan secara ragawi malah lebih parah ketimbang Allepo.
Masih ada sisa bangunan yang belum runtuh di kota bersejarah Suriah , sementara di kawasan bertetangga dengan Museum Bahari di Jakarta segenap bangunan sudah berhasil dibumiratakan oleh laskar penggusur. Tragedi Allepo diratapi oleh seluruh dunia sementara tragedi Pasar Ikan diratapi hanya oleh mereka yang terpaksa mengalami derita tragedi itu sendiri.
Para warga Allepo juga tidak mengalami derita para warga Pasar Ikan dalam hal setelah digusur masih dihujat sebagai para perampas tanah negara, pelestari kemiskinan, sampah masyarakat, penghambat pembangunan, penyebab banjir dan anekaragam hujatan lainnya.
Pada saat kunjungan ke puing-puing bekas Pasar Ikan, kami sempat berjumpa seorang ibu muda usia menggendong balita yang diberi julukan si Puing sebab secara harafiah memang dilahirkan di atas puing-puing kawasan bekas Pasar Ikan.
Kami juga menyaksikan gelora semangat perjuangan hidup tak terpatahkan pada warung darurat menjual makanan kecil buatan para warga tergusur sendiri. Semangat melawan penindasan yang kini dijabarkan dalam bentuk class-action warga tergusur menggugat penggusur , juga tersirat pada nama masjid yang dibangun atas swadaya rakyat di atas puing Pasar Ikan yang semula Al Ikhlas kini diganti menjadi Al Jihad.
Mayoritas warga yang menyambut kedatangan kami adalah kaum perempuan karena para lelaki sedang melaut demi mencari nafkah dengan cara menangkap ikan selama bukan berjam-jam namun berbulan-bulan. Keharuan makin mencengkam sebab aliran listerik dan air bersih khusus hanya ke kawasan bekas Pasar Ikan diputus oleh PAM dan PLN sebab secara formal-adminstratif kawasan bekas Pasar Ikan sudah dianggap tidak ada lagi.
Mengenai para warga yang kini de facto bermukim di tenda dan bedeng bekas Pasar Ikan yang de jure memiliki KTP sebagai bukti sah bahwa mereka adalah penduduk kota Jakarta tampaknya sudah dianggap tidak berhak dianggap sebagai warga negara Indonesia maka tidak layak memperoleh saluran listrik dan air bersih.
Mereka yang masih memiliki nurani kemanusiaan pasti sulit merasa tidak terharu ketika menyaksikan kenyataan bahwa setelah merdeka sejak 1945 ternyata masih ada sesama warga Indonesia masih hidup dalam kesengsaraan akibat diperlakukan sebagai bukan warga Indonesia oleh sesama warga Indonesia sendiri
(Penulis pemrihatin nasib rakyat tergusur)|rm