Oleh Ferdinand Hutahaean
Berulang kali sudah rejim ini diberikan masukan dan kritik oleh pihak-pihak yang mencintai bangsa ini dan mencintai tegaknya aturan. Namun tampaknya rejim pimpinan Jokowi ini sudah tuli dan hanya beretorika dengan kata-kata semata. Kesan yang diumbar rejim seolah ingin megajak semua pihak untuk membangun negeri ternyata isapan jempol yang membodohi. Faktanya, rejim pimpinan Jokowi ini benar-benar tuli dan tidak mau mendengar, hanya ingin didengar.
Hari ini disela masa kampanye yang belum berakhir, Basuki Tjahaja Purnama sudah diaktifkan kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta. Masa kampanye berlangsung sampai tanggal 11 Pebruari 2017, artinya bahwa kampanye masih berlangsung hingga pukul 24.00 nanti malam. Masih tersisa sekitar 8 jam lagi masa kampanye, namun Ahok sudah diaktifkan kembali.
Ada kekeliruan yang sangat fatal dilakukan oleh rejim Jokowi dalam skandal pengaktifan kembali Ahok ini. Yang pertama, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur disela waktu kampanye yang belum berakhir. Yang kedua, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur dengan melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2004 khusususnya pasal 83 ayat 1 yang berbunyi bahwa setiap kepala daerah yang telah menjadi terdakwa dengan ancaman hukuman 5 tahun wajib diberhentikan sementara.
Apapun alasannya dan argumen yang digunakan oleh Pemerintah untuk membenarkan kesalahan fatal pengaktifan kembali Ahok hanyalah argumen yang membodohi logika dengan cara bodoh.
Dalam UU 23 tahun 2004 tersebut secara jelas dan terang, tidak bisa ditafsirkan lain karena dalam penjelasan UU tersebut juga tertulis cukup jelas.
Artinya 2 faktor penyebab kepala daerah wajib diberhentikan sementara yaitu menjadi terdakwa dan diancam 5 tahun sudah terpenuhi. Ancaman hukuman dalam KUHP pasal 156a sebagai dakwaan primer yaitu 5 tahun, Ahok sudah menjadi terdakwa sejak dakwaan dibacakan Desember 2016 lalu.
Lantas, alasan dan logika apa yang digunakan rejim Jokowi ini untuk mengaktifkan Ahok? Saya tidak habis pikir kecuali penerintah menggunakan logika tidak waras.
Nampaknya pengaktifan Ahok ini patut diduga sebagai keberpihakan rejim berkuasa kepada Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini. Pemerintah tidak netral karena tidak melaksanakan UU secara lurus dan benar. Pemerintah malah mensiasati UU demi kepentingan politik sesaat.
Presiden dalam hal in dapat dimakzulkan karena dengan sengaja dan secara sadar melanggar UU. Presiden telah melanggar sumpah jabatan yang harus menjalankan Undang-undang selurus-lurusnya. Presiden melanggar konstitusi dan layak diberhentikan dari jabatannya.
DPR sudah saatnya menggunakan hak yang dimilikinya untuk memakzulkan Presiden karena dengan sengaja melanggar UU. Ini tidak bisa dibiarkan karena negara akan hancur jika dipimpin dengan melanggar UU. Pemerintah itu wajib menegakkan aturan bukan melanggar aturan.
Tampaknya selain dengan sengaja dan nekad melanggar UU, rejim pimpinan Jokowi ini tampaknya sedang menantang kemarahan rakyat. Kita tahu publik Jakarta sedang terguncang kondusifitasnya karena Ahok, sudah selayaknya Ahok diberhentikan sementara agar Jakarta tenang dan tidak gaduh serta agar Pilkada ini berlangsung adil. Kenekadan pemerintah ini tampaknya memang sedang menantang kemarahan rakyat, dan jangan salahkan rakyat jika kemudian menjadi benar-benar marah.
Jakarta, 11 Pebruari 2017