KEKUATAN SUARA RAKYAT, STUDI KASUS SU’UL ADAB GUS MIFTAH & KEZALIMAN PROYEK PIK-2 MILIK AGUAN
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Siapa bilang bersuara itu tak penting? Siapa bilang omon-omon itu nothing? Siapa bilang, menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran itu perilaku yang sia-sia?
Kasus mundurnya Miftah Maulana Habiburrohman atau Gus Miftah, dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, menjadi bukti kongkritnya. Mundurnya Miftah, dipastikan bukan karena keinsyafan atas kesalahan, atau karena menjaga reputasi, apalagi karena sikap kenegarawanan. Mundurnya Miftah, tak lepas dari tekanan publik, tekanan netizen yang beberapa hari terakhir begitu berisik mengkritik perilaku Su’ul Adab Gus Miftah kepada penjual es teh dalam pengajiannya di Magelang.
Kenapa publik mudah tergerak untuk bersuara, dan kompak mengkritik perilaku adab buruk Gus Miftah? Jawabannya, secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, ada memori buruk yang menghinggapi benak publik terkait perilaku Gus Miftah, yang selama ini sekedar menjadi catatan. Peristiwa tragedi ‘es teh goblok’ menjadi pemicu netizen, yang sebelumnya memendam sejumlah kejengkelan menjadi tumpah ruah.
Kedua, adanya kesepahaman umum dan keyakinan kolektif, bahwa kepada orang tua, semestinya yang muda lebih hormat. Ada adagium umum yang berlaku di masyarakat ‘kepada yang tua menghormati, kepada yang muda menyayangi’.
Ketiga, terpantiknya emosi dan empati publik kepada Sonhaji, lelaki paruh baya penjual es. Publik saling mengasosiasi, seandainya penjual es teh itu dirinya, seandainya penjual es teh itu orang tuanya, seandainya penjual es teh itu keluarganya, pastilah hatinya remuk redam. Dalam benak dan dada publik, terakumulasi rasa sedih, prihatin, kecewa, marah bahkan ingin balas dendam.
Keempat, adanya semangat kolektif publik ingin memberi pelajaran kepada Gus Miftah agar tak Su’ul Adab. Gerakan tuntutan Miftah mundur, menjadi nyaring di sosial media.
Jadi, setidaknya 4 (empat) faktor itulah yang menyebabkan Miftah terpaksa mundur dari jabatannya. Andaikan, tak ada 4 faktor diatas, niscaya Miftah masih akan tetap bertengger di posisinya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Lalu kenapa, tidak ada gerakan sosial media serupa, terhadap Aguan? Yang telah merampas tanah rakyat berdalih PSN secara zalim? Kenapa tidak ada empati publik yang bersifat kolektif untuk menghukum Aguan?
Jawabnya, setidaknya juga ada 4 hal, yaitu:
Pertama, Aguan selama ini membangun citra sebagai pribadi yang santun, yang gemar dalam kegiatan filantropi. Sementara kegiatan zalim entitas propertinya, di lapangan dilaksanakan oleh orang lain.
Kedua, masih sulitnya membangun kesepahaman umum dan keyakinan kolektif, tentang betapa zalimnya korporasi property yang merampas tanah rakyat. Karena di lapangan, korban kecelakaan proyek PIK-2 yang menyebabkan cacat hingga kematian, juga tanah yang diambil paksa, tanah yang dibayar sekedarnya, intimidasi dan tekanan kepada rakyat, tidak dilakukan langsung oleh Aguan. Diantaranya, dilakukan oleh Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan Aguan di lapangan.
Masih banyak yang belum berfikir, seandainya tanah yang dirampas itu miliknya, milik keluarganya. Seandainya yang cacat dan mati terlindas truk material tanah PIK2 itu anaknya, atau keluarganya. Dan seterusnya.
Sehingga, seperti agak terputus kezaliman di lapangan dengan sosok Aguan. Padahal, semua kezaliman di lapangan adalah salam rangka menyediakan tanah untuk lapak bisnis oligarki property milik Aguan di PIK-2.
Keempat, belum adanya semangat kolektif publik ingin memberi pelajaran kepada Aguan agar tak berbuat zalim. Kekuasaan juga belum kongkrit menunjukan keberpihakannya pada rakyat korban perampasan tanah.
Berbeda dengan kasus Gus Miftah, yang membuat sejumlah pejabat bersuara. Dimensi tekanannya kecil, sehingga pejabat bisa renyah dan lantang bersuara mengecam Miftah.
Sementara kepada Aguan? Para pejabat tidak bernyali.
Yang paling penting, adalah perlunya mengedukasi kezaliman oligarki property PIK-2, agar rakyat, agar netizen bisa ikut bersuara. Kezaliman terhadap rakyat Banten, tak bisa hanya disuarakan oleh rakyat Banten saja, melainkan oleh seluruh rakyat Indonesia seperti dalam kasus Gus Miftah.
Semoga, dengan kekompakan rakyat membersamai korban perempasan tanah, akan memaksa kekuasan bertindak untuk menghentikan kezaliman perampasan tanah oleh Korporasinya Aguan. Penguasa di republik ini tidak akan bertindak, sebelum rakyat bergerak. Maka bersatulah, wajar rakyat, suarakan kebenaran, lawan kezaliman. Allahu Akbar ! [].