Prabowo Sebagai Penerus Jokowi Akan Datang Bencana Lebih Besar
Oleh Sutoyo Abadi
Bung Karno dikenal sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia, pejuang pra dan paska kemerdekaan RI, harus tergelincir karena mengabaikan tuntutan rakyat yang sudah meluas tentang turunkan harga, bubarkan PKI dan bersihkan pemerintahan dari unsur PKI. Bung Karno memilih tidak kehilangan muka di mata dunia, meski harus kehilangan “mahkota” kekuasaan.
Keberadaan Bung Karno di Halim, pada pagi 1 Oktober 1965, ketika nyaris tidak ada yang tahu pasti kemana para jendral itu diculik. Keadaan malah dipicu salah ucap Presiden Soekarno yang menyebut penculikan atau hilangnya pemimpin pemimpin TNI AD sebagai “riak kecil dalam gelora gelombang samudra nya revolusi.
Suharto sebagai Pangkopkamtib, dengan tanggap dan trengginas ambil keputusan cepat, berani dan tegas memenuhi tuntutan rakyat. Membubarkan PKI serta pembersihan pemerintahan dari sisa-sisa dan simpatisan PKI.
Bahkan Suharto dengan cepat bertindak melacak para penculik Jenderal-jendral memburu dan membasmi PKI yang telah menculik dan membunuh Jenderal TNI AD.
Semestinya fenomena ini dapat ditangkap dengan baik oleh intuisi Pak Prabowo, sebagai figur pemimpin yang sudah kenyang makan asam garam, terjun di berbagai medan.
Jokowi ada hubungannya dengan trah PKI telah melakukan kejahatan memberi karpet merah untuk etnis Cina menguasai kekayaan negara, merampas tanah rakyat dan tampak jelas akan membangun negara dalam negara. Kesalahan Jokowi sebagai penghianat negata lebih berat di bandingkan dengan Bung Karno yang meremehkan PKI membunuh para Jenderal.
Suharto bukan hanya mengambil jarak dengan Bung Karno, terpaksa menahan Bung Karno menjadi tahanan rumah di Wisma Yaso oleh Soeharto setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno untuk menyelamatkan Bangsa dan Negara.
Prabowo malah mengingatkan kita semua untuk tidak mencaci, memaki Jokowi, termasuk mau memaafkan dan menghargai keberhasilan maupun memaklumi kekurangan mantan Presiden Jokowi — dipersepsikan akan kecenderungan melindungi Jokowi.
Bahkan dalam suatu acara bersama segenap pengurus dan anggota Gerindra, menyatakan : “akan ikut merasa sakit bila Jokowi dicubit dan juga akan berdiri di belakangnya.” Presiden Prabowo terkesan ambigu.
Ada yang berpandangan beliau sedang melalukan langkah-langkah “sandi yudha” — langkah kuda atau menyamar— hingga waktunya. Tetapi itu tidak analog — karena dalam operasi sandi yudha ada tempat melapor dan pengendalinya tidak ada dalam kasus Jokowi.
Pak Prabowo lebih tajam lagi memilah perannya sebagai presiden, eksekutif atau pribadi Ketua Dewan Pembina Partai. Allah Tuhan Yang Maha Besar yang memberi kemuliaan padanya, dan juga yang akan mencabutnya.
Semoga Presiden Prabowo bukan menjadi penerus Jokowi, kalau itu terjadi akan menjadi petaka bagi Presiden Prabowo. Tidak cepat merespon tuntutan rakyat justru melindungi pejabat dan penghianat negara.
Sama sekali tidak ada hubungannya “mikul duwur mendem jero” untuk Jokowi yang tidak memiliki jasa kepahlawanan untuk negara, selain kerusakan, kehancuran dan tergadainya kedaulatan negara dalam bahaya.
Semoga Presiden Prabowo Subianto diberi Allah kekuatan, kejernihan berpikir, dan keberanian mengambil tindakan cepat dan tepat seperti Presiden Suharto ketika negara dalam kondisi kritis dalam menjaga dan menyelamatkan kedaulatan bangsa Indonesia. Prabowo Subianto sebagai penerus Jokowi akan datang petaka dan bencana lebih besar. (*)
18/12/2024