Awas Pinjol Berbulu Pindar
Cerpen
WA Wicaksono
Seperti biasa, warung kopi kecil di sudut pinggiran Jakarta itu dipenuhi suara bising deru angkot dan kendaraan yang lalu-lalang tanpa ada sepinya. Disamping gelas kopi yang telah tandas sisakan ampasnya saja, Toing memutar-mutar ponselnya di meja, tanpa guna. Tatapannya nampak kosong dan wajahnya terlihat linglung. Jika diperhatikan lebih seksama, sebenarnya warung itu nampak lebih mirip ruang tamu dengan meja reyot dan kursi plastik. Namun dalam kesederhanaan yang cenderung mengenaskan tersebut, warung ini banyak menjadi saksi bisu dari percakapan-percakapan yang seringkali lebih seru dibandingkan acara televisi nasional.
Toing tampak resah, matanya menari-nari antara layar ponsel dan secangkir ampas kopi hitam yang sudah dingin dan mulai mengering sejak setengah jam lalu itu.
“Gimana, Ing? Jadi nggak?” tanya Togar, sahabatnya, sembari menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya yang terlihat pecah-pecah.
Toing mengangkat bahu. “Kayaknya jadi Gar. Sepertinya aman kok. Kan udah ada logo OJK-nya segala. Namanya juga Pindar, bukan Pinjol. Lebih keren, meyakinkan dan lebih manusiawi.”
Togar tertawa. Suaranya menggema seperti keran bocor yang tak bisa lagi ditutup karena soak. “Manusiawi? Hahaha! Pindar itu cuma Pinjol yang ganti baju, Ing. Itu tuh… kayak preman pasar yang pake jas, tetap aja kan bau keringat dan tukang palak!”
Toing tersenyum kecut. Tapi gempuran gigih dari notifikasi yang memborbardir ponselnya terasa lebih menguasai pikirannya. “Ah… Cuma butuh tiga juta buat nutupin cicilan motor aja sih. Lagian, bunganya cuma dua persen sehari kok.”
“Hahahaha… Dua persen sehari itu artinya tujuh ratus persen setahun, kawan,” sela Togar mengingatkan. “Udah kayak neraka diskon akhir tahun tuh.”
Namun Toing mengabaikannya. Segera ia mengetikkan namanya di aplikasi Pindar dengan jari yang gemetar. Selanjutnya ia pun selfi dengan KTP di tangannya. Kirim dan wow… dalam hitungan detik, uang itu pun segera mendarat mulus di rekeningnya.
——————————————–
Tiga bulan berlalu, kini wajah Toing berubah seperti kertas koran yang sudah diremas-remas. Cicilan yang awalnya ringan, sekarang menjadi beban yang tak tertanggungkan. Setiap hari ada saja panggilan telepon, pesan ancaman, bahkan foto dirinya yang disebar ke grup WhatsApp keluarganya dengan tulisan “BURONAN HUTANG”.
Suatu sore, Toing duduk di kamar kosnya yang sempit, menatap tumpukan kertas peringatan dari Pindar yang menumpuk di meja karena belum sempat dibuangnya. Di sudut ruangan, sebuah poster kecil bertuliskan “Hidup Adalah Pilihan” tampak mengejeknya. Telepon berdering lagi. Kali ini suaranya berat, intimidatif, dengan aksen yang terlalu formal untuk seorang penagih utang.
“Saudara Toing, kami dari Tim Kolektor Pindar. Mohon segera melunasi total utang Anda sebesar delapan juta rupiah. Jika sampai hari ini tidak ada pembayaran, kami akan segera mengirimkan tim lapangan.”
Toing menutup telepon tanpa menjawab. Tangannya gemetar, tapi kali ini bukan karena takut. Ada sesuatu yang mendidih di dalam dirinya. Ia mengambil selembar kertas dan mulai menulis.
Beberapa hari kemudian, sebuah unggahan viral di media sosial. Toing, dengan nama samaran “Pejuang Pindar”, membongkar praktik licik perusahaan itu. Ia menjelaskan bagaimana bunga harian, biaya administrasi, dan denda keterlambatan adalah jebakan yang dirancang untuk memperbudak peminjam. Ia mengunggah bukti-bukti, termasuk rekaman suara ancaman dari kolektor Pindar yang berlisensi resmi dari OJK. “Terdaftar resmi dan diawasi OJK, apa gunanya kecuali untuk Headline iklan semata?” ujar Toing kesal.
“Mereka mengganti nama supaya terdengar lebih sopan, tapi lupa mengganti perilaku. Apa bedanya pinjaman yang berizin dan tidak, kalau keduanya memeras keringat dan air mata yang sama?” tulis Toing dalam unggahannya. Ia berharap unggahan itu bisa viral dan mendapat perhatian dari pemerintah yang katanya peduli rakyat kecil. “No viral no attention, no viral no justice” jargon inilah yang memotivasinya untuk berani dan membesarkan hati.
Seminggu setelah unggahan itu viral lagi, Toing pun menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Kali ini, suara di ujung telepon terdengar lembut.
“Selamat siang, Saudara “Pejuang Pindar”. Kami dari tim hukum Pindar ingin mengundang Anda untuk berdiskusi. Kami ingin mendengar aspirasi Anda secara langsung.”
Toing terdiam sejenak, lalu mengiyakan. Di sebuah ruangan konferensi berlampu terang, ia duduk berhadapan dengan beberapa eksekutif Pindar. Mereka tersenyum, tapi senyumnya dingin dan mencekam.
“Kami menghargai kritik Anda Saudara “Pejuang Pindar”, eh boleh kami panggil nama asli Toing aja ya. Namun kami juga berharap Anda bisa lebih bijak. Tindakan Anda telah merugikan reputasi perusahaan,” kata seorang wanita berkacamata dengan nada bicara manager profesional.
Toing tersenyum. “Reputasi? Yang Anda khawatirkan hanya nama baik, bukan nasib para korban. Anda tahu apa yang paling ironis? Nama Pindar itu sendiri.”
“Maksud Anda?”
“Anda tak tahu, Pindar itu sebenarnya adalah nama seorang penyair Yunani kuno yang memuji para pahlawan dan menulis tentang keadilan. Lucu, kan? Sungguh ironis bahwa nama itu sekarang justru dipakai untuk menipu orang-orang kecil.”
Ruangan itu hening. Wajah-wajah di seberang meja tampak kaku. Toing berdiri, mengangkat selembar surat yang ia bawa.
“Ini permohonan pailit saya. Saya tidak punya apa-apa lagi untuk kalian ambil. Tapi satu hal yang saya punya adalah suara. Dan suara itu akan terus saya gunakan untuk melawan kalian.”
Semua di ruangan terdiam. Senyap.
——————————————