Pilkada Serentak 2024 Brutal, Gugatan Sengketa Hasil Pilkada Mencapai 56,9 Persen

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 dilaksanakan pada 27 November 2024 di seluruh daerah di Indonesia, melibatkan 545 daerah yang terdiri dari 37 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota. Sejak jauh hari, banyak pihak meragukan Pilkada serentak 2024 ini dapat berjalan dengan baik. Banyak pihak mencium aroma tidak sedap dalam pelaksanaan Pilkada serentak ini.

Ternyata benar. Hasil Pemilihan Kepala Daerah 2024 ternyata sangat buruk. Dan yang terburuk sepanjang sejarah Pilkada. Diduga terjadi banyak pelanggaran dan perbuatan melawan hukum secara terstruktur, sistematis, dan massif. Alias brutal. Hal ini tercermin dari jumlah sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah yang didaftarkan di Mahkamah Konstitusi.

Total sengketa Pilkada yang masuk di Mahkamah Konstitusi mencapai 310 daerah, atau 56,9 persen dari 545 daerah. Sengketa Pilkada Provinsi mencapai 21 dari 37 provinsi atau 56,7 persen. Sengketa Pilkada Kabupaten mencapai 240 dari 415 Kabupaten atau 57,8 persen, dan sengketa Pilkada Kota mencapai 49 dari 93 Kota atau 52,7 persen.

Jumlah sengketa Pilkada yang sedemikian banyaknya menunjukkan pelaksanaan Pilkada 2024 sangat memprihatinkan dan memalukan, mencerminkan ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 ini. Mayoritas atau hampir semua gugatan terkait kecurangan Pilkada yang bersifat TSM (terstruktur, sistematis, dan massif). Kecurangan secara massif ini diduga melibatkan oknum pejabat-pejabat di daerah, seperti aparat desa serta aparat penegak hukum.

Hasil Pilkada serentak 2024 yang sangat buruk ini sudah dapat diduga. Sejak 2022, ketika masa jabatan kepala daerah selesai 5 tahun, Jokowi menunda Pemilihan Kepala Daerah sampai November 2024. Bersamaan dengan itu, Jokowi melalui kementerian terkait menunjuk Penjabat Kepala Daerah sebagai pengganti Kepala Daerah yang habis masa jabatannya.

Karena itu, Jokowi dapat menguasai seluruh Penjabat Kepala Daerah di Indonesia, dan dapat memerintahkan Kepala Daerah boneka tersebut untuk memenangi calon pasangan Kepala Daerah yang didukungnya, dengan segala cara, termasuk mobilisasi aparat desa dan institusi negara yang sekarang dikenal dengan “parcok”.

Yang menjadi permasalahan besar, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang telah habis masa jabatannya, dan mengangkat Penjabat Kepala Daerah sebagai pengganti Kepala Daerah, melanggar konstitusi, melanggar Undang-Undang Dasar Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

Artinya, Kepala Daerah tidak boleh diangkat oleh Presiden atau Kementerian terkait, tetapi harus dipilih secara demokratis. Sedangkan Pejabat atau Penjabat Kepala Daerah hanya berlaku dalam hal Kepala Daerah berhalangan dalam masa jabatannya. Bukan untuk menggantikan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya.

Semua rancang bangun dan rekayasa kecurangan Jokowi tersebut terbukti menghasilkan Pilkada serentak 2024 yang sangat buruk, dengan gugatan sengketa hasil Pilkada mencapai 56,9 persen.

Survei elektabilitas yang diagung-agungkan sangat akurat oleh lembaga survei juga menjadi korban. Bukan saja tidak akurat, tetapi menjadi terbalik-balik.

Sebagai contoh, tingkat elektabilitas pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Airin Rachmi Diany dan Ade Sumardi, yang mencapai 77,3 persen beberapa hari menjelang pencoblosan ternyata kalah telak, dengan perolehan suara hanya 44,12 persen. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi, kalau tidak ada faktor X yang TSM?

Khusus kasus Banten memang sangat menyolok. Kasus PSN PIK2 mempertontonkan secara transparan keberpihakan aparat desa kepada pengusaha yang sangat dekat dengan Jokowi. Aparat desa ini patut diduga menjadi mesin pemenangan calon pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang didukung Jokowi, dengan menghalalkan segala cara.

Untuk itu, Mahkamah Konstitusi sebagai gerbang akhir penjaga keadilan dan demokrasi diharapkan dapat menjalankan tugasnya sebaik-baiknya. Mahkamah Konstitusi wajib menindak tegas segala bentuk kecurangan dan perbuatan melawan hukum dalam Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 ini. Termasuk membatalkan kemenangan dari hasil kecurangan TSM.

— 000 —