DI BAWAH LINDUNGAN POHON MANGGA
Oleh Agung Marsudi
DI BAWAH lindungan pohon mangga (mangifera indica), di halaman rumah tua berumur ratusan tahun, saya menikmati es teh Mak Nyus mbak Yosi gendut, asal Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah.
Aura kolonial Belanda, seperti terhirup ketika angin timur, mengantarkan aroma dupa. Berputar di sekeliling pohon mangga tua, dimana kami duduk. Dengan bangku dari kayu, dan anyaman bambu.
Memang tepat di pojok, gapura masuk desa, ada sumur tua yang oleh warga dikenal angker, uniknya airnya tak pernah habis-habis. Hanya orang-orang tertentu yang berani menimba airnya, meski hanya untuk keperluan rumah tangga. “Airnya jernih, dingin, dan menyegarkan,” ujar mbah Kung, yang tak mau pula disebut namanya.
Karena saya pujakesuma, putra Jawa keturunan Sumatera, tak begitu tertarik dengan hal-hal berbau klenik. Saya coba menimba air sumur itu, untuk cuci muka, airnya memang jernih dan dingin. Bahkan saya meminumnya, badan terasa segar.
Sayapun mulai berprasangka, kenapa penduduk takut memanfaatkan air sumur itu. Padahal tidak ada “sesuatu” seperti yang dikabarkan banyak orang.
Diameter tajuk pohon mangga tua itu mencapai dua puluh meter, sehingga menikmati es teh Mak Nyus mbak Yosi gendut, terasa seperti berada di kafe bentang alam, ketika hari panas terik. Cukup untuk menampung seratusan orang sekaligus.
Sejatinya, ini bukan cerita tentang pohon mangga yang angker. Ini catatan perjalanan “njajah deso, milang kori”.
Mendengar kearifan lokal, dengan arif. Narasi tentang masa lalu, yang jamak berkelindan dengan bayang-bayang “hantu”, tak semestinya membuat kita takut. Sumur tua itu, rumah tua itu, atau pohon mangga besar itu. Semua itu, tak ada apa-apanya. Sebab sesungguhnya yang membuat “ada apa-apa” itu diri kita.
Bangsa ini membutuhkan kearifan untuk melihat masa depan, tanpa dihantui ketakutan. Yang meninabobokan. Isu pemanasan global, kredit karbon, la nina, el nino, geopolitik, deepstate, NATO, BRICS, G20, OBOR, dan seterusnya.
Di bawah lindungan sayap Garuda, bangsa ini harus mewujudkan cita-cita luhur para pendiri bangsa. Indonesia Emas 2045 akan menjadi mimpi berbuah manis, jika hari ini kita tanam pohon-pohon mangga, 20 tahun lagi sudah tinggi dan akarnya menghujam kuat, dan kita bisa berlindung di bawah pohon mangga besar tanpa hantu, yang menghantui. Sebab buahnya kuning emas, berkilauan. “Sopo nandur, ngunduh”.
Jika generasi milenial adalah mereka yang lahir dari tahun 1981-1996 atau sekarang berumur 29-44 tahun, maka 20 tahun lagi, mereka berumur 49-64. Akankah dari mereka lahir presiden “berkelas”, dan menjadi presiden “kesebelas”?
Solo, 23 Desember 2024