Prabowo dan Megawati Terjepit Kasus Hasto Kristiyanto

Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Kendati sangat mungkin tak sejalan dengan harapan Presiden Prabowo Subianto, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 24 Desember nekat menjadikankan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap. Konon, Hasto menggunakan instrumen Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR untuk meloloskan calon legislatif dari PDI-P Harun Masiku yang tak memiliki suara cukup dalam pileg 2019 dengan menyuap anggota KPU Wahyu Setiawan.

Lepas dari benar-tidaknya Hasto terlibat korupsi, kasus ini sangat berbau politis, yang merupakan bagian dari perseteruan Mulyono-Megawati. Bahkan, diduga kuat kasus Harun Masiku melibatkan banyak orang penting sehingga kasus yang telah muncul sejak Januari 2020 tak dapat diselesaikan. Harun sendiri sampai hari ini “hilang” atau “dihilangkan” secara misterius. Tidak masuk akal  tempat persembunyiannya tak diketahui aparat.

Mulyono diyakini tahu persis kasus Harun dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dan tahu juga keberadaan Harun (kalau dia masih hidup). Kiranya selama berkuasa Mulyono mempetieskan isu ini guna menjaga dukungan PDI-P dan mungkin berharap kelak Megawati akan berkenan atas keinginannya untuk berkuasa selama tiga periode. Ketika ekspektasi ini tak kesampaian, Mulyono  melakukan cawe-cawe dalam pilpres dan pileg dengan niat menghantam PDI-P.

Tidak cukup sampai di situ, mungkin kini Mulyono “memerintahkan” KPK — yang formasinya dia bentuk  menjelang akhir pemerintahannya — mempersangkakan Hasto enam hari setelah Mulyono dipecat dari keanggotaan PDI-P sebagai balas dendam terhadap Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Hasto adalah anak emas Megawati. Ia berperan penting dalam sejumlah kebijakan strategis PDI-P, termasuk dalam memenangkan Mulyono dalam dua pilpres.

Tapi menjebloskan Hasto ke penjara bukan hanya ekspresi balas dendam Mulyono ke mantan boss-nya, tapi juga menghukum Hasto yang baru-baru ini membongkar borok Mulyono terkait Anies Baswedan. Di berbagai platform, Hasto menyatakan Mulyono sendiri mengatakan kepadanya bahwa ia akan menjadikan Anies tersangka kasus Formula-E. Andaikan tidak ada perpecahan di kalangan komisioner KPK terkait niat Mulyono ini, kini Anies masih di penjara untuk kasus korupsi fabrikasi yang tak dilakukannya.

Kasus Hasto mecuat kembali – sebelumnya Hasto telah diperiksa KPK berkali-kali – tak bisa dilepaskan juga dari Kongres VI PDI-P tahun depan. Dalam hal ini, Hasto, otak PDI-P, sangat dibutuhkan. Pada 19 Desember lalu, Megawati menyatakan ia mencium ada gelagat pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan hajat penting itu. Yang dimaksudkan Megawati adalah upaya membegal PDI-P sebagaimana pernah dicoba dilakukan Kepala Staf Presiden, Moeldoko, untuk merampas Partai Demokrat dari Dinasti Cikeas.

Menciduk Hasto dalam kasus Harun Masiku sangat mungkin mengecewakan Prabowo. Sejak dulu Prabowo selalu menekankan kerja sama seluruh elemen bangsa dengan memasukkan sebanyak mungkin kubu oposisi ke dalam pemerintahannya. PDI-P, partai terbesar yang dekat dengan Partai Gerindra secara ideologis, tak dimasukkan ke dalam Koalisi Indonesia Maju Plus karena ditentang Mulyono. Isu ini beredar luas pasca perjumpaan Prabowo dengan Mulyono di Solo seminggu sebelum Prabowo dilantik.

Kendati saat itu berjanji akan memenuhi kehendak Mulyono,  Prabowo masih berharap PDI-P kelak akan bergabung dengan KIM Plus seiring berjalannya waktu. Tetapi perkembangan terakhir di mana Hasto ditahan tanpa Prabowo berbuat sesuatu untuk membantunya hanya kian menjauhkan hubungan Prabowo dan Megawati. Bukan lantaran Prabowo membela koruptor, tetapi karena isu lama ini terlalu politis. Dan belum tentu juga Hasto benar-benar terlibat korupsi. Bukankah Anies juga mau dijadikan tersangka untuk hal yang tak dilakukannya?

Sensitivitas hubungan

Prabowo-Megawati terlihat ketika Prabowo sebagai presiden terpilih menelpon Megawati ketika DPR mau ubah UU Pilkada untuk membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan ambang batas perolehan suara parpol dalam mencalonkan kepala daerah. Hari itu mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan  untuk memprotes langkah DPR yang mengangkangi keputusan MK. Prabowo menyatakan kepada Megawati bahwa ia tak terlibat dalam soal ini. Dengan kata lain, Mulyono otak di belakang isu ini demi mengucilkan PDI-P dan menggembosi suaranya dalam Pilkada.  Dan Mulyono berhasil.

Apa boleh buat dipersangkakannya Hasto tak bisa dilepaskan dari kelalaian Prabowo menggunakan kesempatan melakukan proses pemilihan ulang calon pimpinan dan dewan pengawas KPK yang formasinya dibentuk Mulyono di akhir masa jabatannya. Padahal, menurut sejumlah pakar tata negara, hak menunjuk calon capim dan dewas KPK seharusnya berada di tangan Prabowo sebagai presiden. Karena KPK sebagai rumpun eksekutif berada di bawah kendali presiden yang sedang menjabat. Mungkin Prabowo yang naif tak menyangka bahwa KPK sekarang lebih patuh pada Mulyono ketimbang dia. Memang aneh.

Kasus Hasto ini – kalau memang benar ia tidak terlibat korupsi – akan kian melemahkan posisi pemerintahan Prabowo. Orang-orang Mulyono di pemerintahan akan terangsang untuk melakukan korupsi. Toh, mereka tak akan tersentuh KPK. Dengan demikian, kampanye antikorupsi Prabowo kehilangan rationale-nya. Yang perlu diingat juga, Mulyono masih punya kartu lain yang bisa dimainkan sewaktu-waktu terkait korupsi yang pernah disebut-sebut melibatkan para kader dan petinggi PDI-P.

Misalnya, dalam kasus korupsi e-KTP, Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin dan Ketua DPR Setya Novanto – keduanya kini masih di penjara — pernah menyebut Puan Maharani, putri Megawati, dan  Ganjar Pranowo, ikut menikmati hasil korupsi bernilai hampir Rp 2 triliun. Dugaan keterlibatan dua tokoh ini belum jelas sampai sekarang. Tak heran, orang coba mengait-ngaitkan “ketidakberdayaan” Megawati menghadapi perilaku Mulyono dengan isu dua tokoh itu. Kalau benar demikian, pemerintahan Prabowo akan terus mengalami instabilitas oleh goyangan Mulyono.

Pada 12 Desember silam, ketika Hasto sedang diperiksa secara tidak pantas – menurut pengakuan Hasto – Megawati mengancam KPK bahwa ia akan seruduk lembaga antirasuah itu bila Hasto dijadikan tersangka. Apakah Megawati akan membuktikan ucapannya? Kalau ya, berarti ada goncangan nasional baru. Bagaimanapun, PDI-P adalah partai terbesar dengan sebagian pendukung fanatik. Kalau tidak, PDI-P semakin terpuruk yang mungkin mempengaruhi hasil Kongres VI di mana Megawati akan muncul kembali sebagai calon tunggal. Melemahnya Megawati akan membuka pintu masuk bagi Mulyono untuk “membegal” partai ini.

Apa yang akan dilakukan Prabowo terkait isu ini? Ya, tidak melakukan apa-apa. Kalau demikian, ketika Prabowo tak dapat menghentikan permusuhan Megawati-Mulyono yang menganggu pemerintahannya, modal politiknya semakin menipis karena rakyat akan menilai negara ini punya pemimpin yang tidak memimpin. Hal ini juga akan berpengaruh pada hubungan internasional Indonesia. Negara-negara di luar sana akan menyangsikan kapasitas Prabowo memimpin negeri besar dan kompleks ini. Para calon investor akan wait and see untuk menilai perkembangan politik domestik yang volatile. Padahal, pertumbuhan 8 persen yang dijanjikan Prabowo tidak mungkin tercapai tanpa stabilitas dan modal asing yang besar. Masihkah Prabowo bertahan pada status quo yang merugikannya?

Tangsel, 24 Desember 2024