TANAH AIR PARADOKS

Oleh Agung Marsudi

MESKI pada diskusi sesi pertama, sempat diguyur hujan lebat, diiringi angin kencang, edisi 252, majelis dan laboratorium sosial-spiritual terbuka “Kenduri Cinta” terus berjalan. Berkah cinta, dari Tuhan, Jumat malam itu bernama hujan.

Ketika hujan sedikit reda, di sesi kedua, Toto Rahardjo, akrab dipanggil Yai Tohar berkesempatan memberi pengantar buku barunya “Demokrasi Para Perampok”. Makin malam suasana di Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, makin hangat. Terlihat jamaah Maiyah malam itu juga tak goyah. Bagus Mulyadi, Rocky Gerung, dan Sabrang melengkapi kesaksian dan dialektika tentang negeri ini, “Tanah Air Paradoks”.

Para pecinta selesa, duduk tersebar dan bertelekan dimana-mana, suka-suka, di bawah tangga, bersandar di dinding-dinding, di bawah tiang-tiang di samping.

Mereka baru mendekat ke tenda utama, ketika Rocky Gerung mulai memanasi diskusi dengan pernyataan. “Memisahkan tanah dan air dengan pagar di laut sepanjang 30 kilometer itu paradoks,” ujar RG. Disambut tepuk tangan para pecinta.

Tak berhenti di situ. RG pun melanjutkan dialektika, dengan beragam argumentasi yang mengalir deras dan pedas.

Malam itu, para pecinta, menikmati aneka menu paradoks dengan lahap. Tak perlu dicerna. Sebab presiden kita sekarang pernah menulis buku, “Paradoks Indonesia”.

Jakarta, 11 Januari 2025