Waspada Gibran Jadi Presiden Saat Hukum Belum Bisa Dipercaya

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Saat ini sejarah Pemerintahan RI sudah beralih dari era bekas Presiden RI. Ke-7 Jokowi ke Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto.

Namun faktanya kebijakan di sektoral kebudayaan politik ekonomi dan utamanya penegakan hukum (law enforcement) kontemporer, parameter geo politiknya nyaris masih pola era Jokowi. Hal ini disebabkan dan ditandai dengan:

1. Beberapa menterinya masih diisi dengan wajah lama dan tampilan sama;
2. Kebijakan ekonomi yang fragmatis populis dari Sri Mulyani dengan ide kenaikan pajak menjadi 12 %,  bahkan ketua legislatif DPD usulkan dana penerimaan Zakat Infak dan Sedekah (ZIS) digunakan untuk program Prabowo saat kampanye pilpres 2024 terkait Makan Bergizi Gratis (MBG), denga alasan negara belum menutupi total kebutuhan untuk MBG;
3. Lembaga penegakan hukum, yakni Polri, Kejaksaan dan KPK, MA dan MK banyak disfungsi tugas dan kewenangan, karena para pemangku jabatan tertingginya terikat “kontrak politik jabatan”, sehingga target penegakan hukum hanya khusus diarahkan kepada sosok dari kelompok tertentu saja sesuai order. Contoh; Gibran, Kaesang dan Bobby Nst serta Firli Bahuri (TSK) nyata tidak ditahan, Budi Arie dan beberapa artis dan beberapa anggota legislatif pada kasus pinjol menguap proses hukumnya.

Sehingga perubahan peta budaya politik (ekonomi dan hukum) yang populisme semu ini agar serius tidak melulu pragmatisme, bangsa ini harus segera mengantisipasi keterpurukan sebelum bertambah terperosok ke cekungan terdalam (ke titik nadir).

Karena sesuai hukum ketatanegaraan, andai presiden Prabowo berhalangan oleh sebab kondisi tertentu (“force mejeur”) maka mutatis mutandis opsi tunggal, Gibran yang jatidirinya memiliki tanda-tanda tidak patut dan tidak proporsional sesuai adab budaya bangsa ini menjadi seorang presiden.

Parameter analoginya terhadap figur Gibran yang tidak patut menjadi presiden, tentunya tidak terlepas dari sejarah politik adanya faktor KKN saat Gibran menuju pilpres 2024, dan perilakunya terkait akun Fufu Fafa yang jorok tak beradab (amoral) bahkan secara psikologis mendekati abnormal.

Sehingga sebelum terlambat bangsa ini membutuhkan strategi gerak cepat oleh Presiden RI. Prabowo melalui hak prerogatifnya :

1. Copot Kapolri gantikan oleh Wakapolri (sesuai jenjang karier);
2. Gantikan Ketua KPK dan  susunan lamanya, dengan yang lebih fresh (internal maupun dari eksternal) ;
3. Copot Jagung RI;
4. Gantikan posisi Ketua MK kepada Hakim MK yang track recordnya elok dimata masyarakat hukum/ publik;
5. Prabowo berkerjasama dengan Megawati Soekarno Putri, serta menerima masukan dari para tokoh ulama dan para tokoh bangsa dari berbagai lapisan disiplin ilmu,  yang sebagian besarnya mayoritas merupakan barisan “dikotomi” dengan penguasa era Jokowi.

Maka mudah-mudahan solusi dengan metode teori politik pergantian posisi jabatan dan koordinasi dengan para tokoh bangsa, waspada “darurat Jokowi dan polemik Gibran” disertai politik oligarkinya yang merusak tatanan politik ekonomi dan hukum yang serius menghantui banyak publik, dapat diatasi oleh Prabowo Subianto. Dan selanjutnya  Prabowo bakal ideal menjalankan tugas pokok fungsi jabatannya sebagai Presiden RI dan hasilnya bakal sesuai seperti apa yang diharap dan dicita-citakan oleh seluruh bangsa ini lintas SARA.