OLEH Nugroho Prasetyo
Kritik atas praktek demokrasi liberal sudah dilakukan sejak dahulu. Aristoteles lebih condong pada sistem seleksi (bukan pemilihan), karena pemilihan dianggapnya dapat menjadi pintu masuk kekuatan oligarki dalam demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Sebab, dengan modal kekayaannya, oligarki bisa membeli suara pemilih. “Rezim oligarki membuat negara menjelma menjadi satu konglomerasi dari perusahaan-perusahaan tanpa nama yang digerakkan invisible hand”, kata Esteva dan Prakash.

Dalam pidatonya tahun 1957, Soekarno mengkritik pedas demokrasi liberal yang dinilainya sebagai demokrasi dengan politik rongrong-merongrong, rebut-merebut, jegal-menjegal dan fitnah-memfitnah. Ia mengatakan, “Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan. Sebab, demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapetaka”.

Demokrasi liberal, menurutnya, hanya melahirkan lingkungan politik yang tidak stabil dan memicu perpecahan bangsa. Dan itu tidak relevan dengan konteks melikuidasi kolonialisme dan imperialisme.

Setelah Soeharto menjadikan Demokrasi Pancasila hanya sebagai tameng, Era Reformasi membalik jarum jam sejarah. Demokrasi liberal yang telah dibuang Soekarno ke dalam keranjang sampah dipungut lagi. Indonesia saat ini mirip suasana tahun 1950-1959 ketika UUDS berlaku. Demokrasi model ini, menurut PM Inggris, Clement Attlee (1803-1857), seperti pemerintahan dengan perdebatan. Pendiri IM, Hasan al-Banna mengkritik, “Demokrasi bagi kaum liberal sekuler laksana dewa yang terbuat dari kue. Diimani dan disembah jika menguntungkan dan berpihak kepada mereka. Namun jika kurang berpihak, mereka akan memakannya dengan lahap”.

Sampai kapan kita mampu bertahan dari jebakan ‘demokrasi kriminal’ itu ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, dalam “Manipol 88”, saya tawarkan gagasan tentang demokrasi khas Indonesia : Indokrasi. ***