Panglima TNI Subiyanto normatif dan Patuh kepada Panglima Tinggi dan Tertinggi Negara Republik Indonesia

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto pada saat di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Senin (10/3/2025) menyatakan bahwa, “prajurit aktif yang saat ini menjabat di kementerian atau lembaga lain wajib mengundurkan diri dari dinas aktif atau menjalani pensiun dini”.

Statemen sang Jendral TNI AD ini sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Pasal 47 UU. Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Sehingga membaca arah terhadap indikasi politik dari statemen Panglima TNI secara sederhana dan faktor yang melatarbelaknginya adalah, ‘bahwa Sang Panglima tentu tidak ujug-ujug menyampakan statemen ini, pasti ada sesuatu kondisi ‘lumayan krusial’ dan sudah berkoordinasi, dan kemungkinan besar jatidiri yang dituju oleh Panglima adalah sosok Mayor Teddy Indra Wijaya, yang masih aktif dalam kedinasannya di TNI namun juga menjabat sebagai Sekretaris Kabinet, yakni sebagai pejabat publik penyelenggara negara tentu sebuah kontrdiktif terhadap fungsi jabatan (disfungsional).

Maka pertanyaan dari sisi politik, oleh sebab publik mengetahui bahwa sistim hukum NKRI, Panglima TNI maupun Jabatan Sekretaris Kabinet hak dan pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan bagian dari prerogatif Presiden RI, maka patut secara politik menadakan ada sinyal yang cukup terang, yang menunjukan bahwa Mayor Teddy salah seorang dari jajaran petinggi Kabinet Merah Putih/ KMP yang berasal dari titipan Jokowi atau setidaknya bukan pilihan dari Prabowo selaku Presiden RI.

Bahwa juga diketahui dari sisi administrasi TNI adalah sebuah lembaga yang administrasi terbaik dan TNI sebagai lembaga adalah institusi yang dikenal paling patuh terhadap pimpinan atau Komandan, maka ucapan dari Panglima TNI terkait hal dimaksud tentunya, amat menyinggung martabat
Panglima Tertinggi dikesatuan TNI dan Polri merujuk UUD 1945 yang isinya menyatakan “Presiden RI adalah Panglima Militer Tertinggi di NKRI”, namun kenapa begitu mudahnya keluar ucapan (walau) normatif namun diluar adab kebiasaan, dari sosok pejabat tinggi militer yang seolah nekad menggurui (out of control) terhadap panglima tertinggi Sang Presiden RI yang pada pribadinya melekat status Jendral TNI, walau diketahui Jendral Agus selaku Panglima TNI hasil rekrutan Jokow Widodo (22 November 2023), maka diyakini tidak ada istilah kebablasan (over limit) dari sang Panglima TNI kepada Sang Panglima Tertinggi saat ini Presiden Prabowo Subianto mengingat Jiwa ksatria dan tanggungjawab pengabdian sosok militer kepada pimpiinan (sesuai garis komando saat ini).

Sinyal politik yang ada, menerbitkan makna subtansial, Mayor Teddy bukan pilhan Prabowo, dan melalui Sang Panglima diminta segera konsisten terhadap sumpah prajurit yang merupakan ‘nilai sistim prajurit,’ yang tertinggi, sehingga melahirkan dua opsi, Mayor Teddy mundur dari Setkab dan tetap dalam dinas TNI AD. atau tetap menjabat Setkab namun menyampaikan permohonan pensiun dini.

Tentunya perlu digarisbawahi, bahwa secara hukum militer (normatif) statemen Sang Panglima adalah sebuah kepatutan

Dan selebihnya, kelanjutan daripada gejala-gejala politik a quo kontemporer, dapat ditandai dalam KMP bakal ada perkembangan cepat, tegas serta startegis yakni “pembenahan politik” dari Presiden Prabowo terhadap perilaku ‘cawe-cawe tokoh lama’ namum masih berusaha eksis membayangi (matahari kembar) dan jika benar demikian diskresi yang bakal dilakukan oleh Presiden Prabowo, oleh sebab tentu dapat dipastikan Prabowo sudah membaca detail kekuatan politik praktis dari fake sun (matahari palsu), namun pembayang dimaksud (fake sun shadower) sekedar demi kepentingan indidvidual (kroninya saja) dan riil tranparasi sudah menebar beberapa benih ‘residu-nya’ di KMP.

Maka ketika Prabowo ‘memangkas’ kekuatan (usang) yang terus mencoba merangsek dengan pola shadower melalui paku-paku yang sengaja sudah ditancapkan di sektor kekuatan politik (ekonomi dan hukum), dari seseorang yang sudah tak berkuasa namun nota bene ‘realitas (masih) menguasai’. Dapat dipastikan Prabowo selaku presiden RI ke 8 bakal didukung oleh kekuatan anak negeri (Lintas SARA) yang amat dahsyat, bahkan dukungan diibaratkan dalam bentuk majas  ‘kepala jadi kaki, lalu kaki jadi kepala’.