Pangeran Sambernyawa Seorang Tasawuf
Sutoyo Abadi

Perjalanan perjuangan perang gerilya selama 16 tahun melawan Belanda merupakan bukti bahwa R.M. Said merupakan tokoh yang kokoh terhadap prinsip, pantang menyerah bahkan sampai ahir perjuangannya tidak pernah bisa di tangkap Belanda.

Perang yang dilakukan adalah perang gerilya, maka R.M. Said tidak pernah menetap dalam satu daerah dengan “wadyabalanya” terus menerus tinggal di hutan dengan berpindah pindah.

Seluruh kerabatnya dengan setia selalu menyertai sekalipun dalam kehidupan yang sulit di hutan, termasuk eyang atau neneknya R.A. Sumanarsa, R.A. Sukawati, istrinya Kanjeng Ratu Bendara dan garwa sepuh R.A. Kusuma Patahati.

Perang gerilya selama 16 tahun dan pada 5 tahun terakhir  sangat berat karena harus perang berjuang sendirian melawan tiga kekuatan sekaligus yaitu Belanda, Hamengkubuwono I ( P. Mangkubumi dan Pakubuana III ) yang telah bersekutu dengan Belanda demi kekuasaan setelah ada perjanjian Giyanti mendapatkan pembagian kekuasaan harus membantu Belanda, termasuk menangkap P.M. Said.

R.M. selalu lolos dari sergapan Belanda. Prinsip perangnya menyerang ketika musuh  lengah dan secepatnya menghilang maka R.M. Said di Juluki Pangeran Sambernyawa ( penyebar maut ).

Filosofi R.M. Said adalah konsep ajaran Islam tidak hanya dalam konteks syariah, melainkan meletakkan kerangka perjuangan secara keseluruhan. Belanda adalah kaum kafir, dzalim dan memecah belah, menguasai, merusak tempat ibadah, menghasut dan merusak tatanan kehidupan kerajaan, maka harus di lawan.

“R.M. Said kepada setiap prajuritnya ketika akan menghadapi perang, baik dalam kondisi terdesak maupun meraih kemenangan selalu mengingatkan bahwa perjuangan yang di lakukan hanya semata-mata karena Allah”, adalah bentuk penyerahan diri secara total kepada Sang Pencipta.

“Sangat di sadari dengan mendalam bahwa aspek kepemimpinan dan dasar perjuangannya di jalan Allah memiliki orientasi _”community development yang didasarkan nilai kewahyuan yang di dasarkan dalam konsep kesejahteraan rakyat”

“R.M. Said paham betul  dalam konteks bahwa pemimpin tidaklah identik penguasa karena pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab dalam kebersamaan sebagai khalifatullah”.

Perjuangan perang gerilya yang dilakukan dalam konteks menghapus tirani, penindasan, kedzaliman dilakukan semata-mata karena Allah.

Amalan dzikir R.M. Said dan pasukannya nampaknya  menganut tasawuf Naqsabandiyah. Karena beliau mengamalkan
dzikir tertinggi yang disebut dengan “dzikir latha’if”.

Sampai disini jika di bandingkan pemimpin negara saat ini kering agamanya, hidup hedonis terus-menerus mengejar dunia, tidak peduli dengan kesusahan, kesulitan, kesedihan, penderitaan rakyat. Memaknai kepemimpinan adalah penguasa. Wajar sebagian pengamat ada rasa miris Indonesia  gelap, kerusakan di mana mana dan bukan mustahil Indonesia akan bubar lebih cepat. Wallahu’lam