Menolak Pembangunan Dengan Menindas, Testimoni Korban PIK-2

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat

Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)

Alhamdulillah, penulis berkesempatan hadir dalam acara buka bersama di Gedung PP Muhammadiyah, di Jakarta, pada Senin kemarin (17/3). Bang Edy Mulyadi, Mang Kholid Miqdar Nelayan Pontang, juga  Bang Said Didu terlihat hadir dalam acara.

Pada pembukaan acara, Prof Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum yang hadir via zoom meeting, menegaskan bahwa Advokasi kasus perampasan tanah rakyat Banten di proyek PIK-2 yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Muhammadiyah, adalah tindakan resmi yang mewakili persyarikatan Muhammadiyah. Penegasan sikap ini, sekaligus membantah sejumlah rumor yang menyebut advokasi yang dilakukan oleh LBH AP Muhammadiyah hanyalah kegiatan personal tertentu, apalagi hanya dianggap Advokasi pribadi seorang Rekan Ghufroni, SH, MH.

Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah di kasus proyek PIK-2, adalah aktivitas dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, sebagai bagian dari kewajiban, komitmen dan tanggung jawab keagamaan dan kebangsaan.

Ada satire menarik yang disampaikan mantan ketua KPK ini. Beliau menyebut saat ini, sila ke-5 Pancasila bukan lagi bermakna ‘Keadilan Sosial’, melainkan sudah menjadi ‘Keadilan Sok Soal’. Idiom ‘Sok Sial’ ini, tentunya sangat merepresentasikan kondisi ketidakadilan yang dialami rakyat saat ini, seperti yang dirasakan oleh rakyat Banten yang menjadi korban kezaliman proyek PIK-2 milik Aguan dan Anthony Salim.

Saat memandu diskusi dengan menghadirkan sejumlah korban kezaliman proyek PIK-2, Rekan Ghufroni selaku Ketua Riset & Advokasi LBH PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa dalam menangani Klien, Advokasi yang dilakukan oleh LBH AP Muhammadiyah, korban tidak dipungut biaya sepeserpun.

Dalam kesempatan diskusi, dua korban PIK-2 yang dihadirkan, yakni Charlie Chandra dan Haji Fuad menceritakan kisah pedih mereka, yang dizalimi oleh Agung Sedayu Group (ASG).

Charlie Chandra, selain menceritakan kembali kisahnya, tanahnya yang dirampas Aguan, ayahnya yang terpaksa diungsikan ke Australia hingga meninggal, kepedihannya di hinakan dengan modus menyebarkan fotonya sebagai DP0, juga menceritakan kisah pilu Restoran Padi-padi.

Restoran Padi-padi, adalah restoran sederhana dengan konsep menyatu dengan alam. Terletak dipinggir sawah. Menjadi ramai, karena saat pandemi Covid-19, selain tempat makan Restoran ini juga nyaman untuk tempat healing dan kontemplasi, sambil menjemur badan dengan udara yang langsung disinari matahari.

Tak mau menjual tanah tempat usahanya kepada Agung Sedayu Group, pemilik restoran Padi-padi di kriminalisasi. Modusnya, area masuk restoran di portal pintu besi. Portal ini, jelas menghalangi usaha restoran Padi-padi.

Tiba-tiba, pada suatu malam sekelompok orang yang tak dikenal terekam cctv membongkar portal ini. Karena pagar telah dibongkar, Padi-padi mengucapkan terima kasih kepada pihak kelurahan/kecamatan, karena portal sudah dibuka.

Tapi ternyata? Tidak lama setelah itu, pemilik Padi-padi dilaporkan ke polisi oleh Agung Sedayu Group, karena dianggap merusak portal yang mereka pasang. Akhirnya, pemilik restoran harus meringkuk di penjara karena kriminalisasi ini.

Kisah Haji Fuad, lebih memilukan.

Lelaki berumur 70 tahun, asli Banten ini, dipaksa menjual tanahnya seluas 200 ha kepada Agung Sedayu Group, saat dia sedang sakit dan di infus. Dalihnya, Agung Sedayu Group menjalankan program PSN Negara. Proses pemaksaan pelepasan hak itu, dilakukan di rumah sakit, atas tekanan polisi bernama AKP Yan Hendra, pada 14 April 2024.

Mulanya, Agung Sedayu Group menawar tanah haji Fuad dengan alasan masuk ploating rencana bisnis properti mereka. Tapi karena ditolak, karena ingin melindungi petani lainnya agar tetap bisa menanam padi, akhirnya Haji Fuad dikriminalisasi.

Saat di penjara, Haji Fuad tetap menolak menjual tanahnya. Tapi akhirnya sakit, putrinya meminta agar dilepaskan, dan akhirnya terjadi penjualan tanah di rumah sakit dalam kondisi ditekan polisi.

Meskipun sudah diserahkan tanahnya, tapi sampai saat ini pembayaran juga tak dilakukan. Ali Hanafiah Lijaya dari Agung Sedayu Group mulanya menjanjikan paling lambat 3 bulan akan dibayar sejak 14 April 2024 lalu, nyatanya sampai kini tidak dibayar. Ini jelas perampasan tanah yang sangat keji.

Ada juga cerita Korban dari Daerah Dadap, Kronjo dan yang lainnya. Kisahnya, rata-rata memilukan hati.

Dalam kesempatan acara tersebut, penulis diminta menyampaikan pandangan. Kurang lebih, penulis menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, penulis merasa sangat bersyukur, gembira, bahagia dan bangga, karena Muhammadiyah secara resmi mengadvokasi kasus perampasan tanah rakyat Banten yang dilakukan oleh Oligarki PIK-2.

Kedua, penulis merasa sangat bersyukur, gembira, bahagia dan bangga, karena Muhammadiyah telah mengambil peran sebagai orang tua rakyat, yang membela dan melindungi rakyat, disaat Negara tidak hadir, disaat rakyat merasa menjadi yatim piatu, karena Negara sebagai orang tua kandung rakyat tidak peduli atas derita yang dialami rakyat akibat kezaliman dan kerakusan Oligarki PIK-2.

Ketiga, penulis berharap langkah yang telah ditempuh oleh Muhammadiyah ini juga diadopsi oleh Ormas Islam lainnya. Jangan sampai, jargon Amar Maruf dan nahi mungkar itu hanya berhenti di tenggorokan.

Mengingat, jika umat Islam bersatu melawan kezaliman, pasti Oligarki akan kalah. Saat ini, rasanya hanya umat Islam yang bisa diharapkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami rakyat, disaat Negara tidak berpihak kepada rakyat bahkan malah pasang badan untuk membela kepentingan Oligarki.

Akhirnya, penulis Ingin tegaskan bahwa kami rakyat Indonesia tidak menolak/anti pembangunan. Kami tidak menolak/anti investasi. Tapi kami menolak dan menentang penindasan dan perampasan tanah rakyat, berdalih pembangunan dan investasi. [].