OLEH TARLI NUGROHO
Banyak orang masih mempertanyakan bagaimana bisa tanggal kelahiran sebuah organisasi etno-nasionalis yang kebetulan terdiri dari para priyayi Jawa dianggap sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kenapa harus Boedi Oetomo, dan bukan Indische Partij, misalnya?!
Gugatan itu kembali berseliweran di timeline dua hari yang lalu. Karena harus menyelesaikan sesuatu, saya menahan diri untuk tidak ikut berkomentar mengenai hal itu. Atas gugatan yang rutin muncul tersebut, saya punya dua pandangan.
Pertama, harus dipahami bahwa penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional itu konteksnya memang bersifat politis, dan bukan pertama-tama bersifat akademis. Penetapan itu terjadi pada 1948, saat situasi di tanah air dalam keadaan genting.
Di saat Belanda kian agresif mencoba mengembalikan kekuasaannya di Indonesia, para pemimpin dan masyarakat kita malah terjebak dalam konflik ideologi yang sengit dan perpecahan politik yang runcing. Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin dan naiknya Kabinet Hatta telah melahirkan perseteruan di antara partai-partai politik besar.
Dalam situasi semacam itu, sebagai pemimpin Bung Karno kemudian berusaha mencari cara untuk mendorong terjadinya rekonsiliasi. Lalu ditetapkanlah tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional tadi. Tujuannya adalah menciptakan momentum untuk menjahit kembali persatuan yang sedang koyak.
Jadi, di luar soal apakah keputusan itu berhasil atau tidak, mengingat adanya peristiwa Madiun Affair yang terjadi sesudahnya, situasi tadi memang membutuhkan keputusan politik segera. Dan Soekarno bereaksi cepat dengan berusaha menciptakan momen rekonsiliasi melalui penetapan Hari Kebangkitan Nasional. Konteks sejarah lahirnya penetapan itu sebaiknya diperhatikan saat kita menilai kembali silang pendapat terkait Hari Kebangkitan Nasional.
Kedua, dari konteks Boedi Oetomo-nya itu sendiri saya kira kita bisa melihat gerakan Boedi Oetomo sebagai gerakan yang untuk pertama kalinya melakukan kritik terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh Politik Etis, yang bisa kita anggap sebagai sejenis politik developmentalisme pemerintah kolonial itu.
Jadi, tujuh tahun sesudah Politik Etis diberlakukan, para priyayi Jawa itu berpandangan bahwa politik yang banyak dipuji tersebut ternyata mengandung persoalan, mengingat tingkat pendidikan kaum Bumiputera dan kesejahteraan mereka sebenarnya tidak banyak bergeser. Sebagai kaum terpelajar, fokus perhatian mereka tentu saja adalah pendidikan, yang kemudian melahirkan gagasan tentang studiefonds. Dokter Soetomo, yang menjadi salah satu aktor penting dalam Boedi Oetomo, kemudian terlibat juga dengan pendirian gerakan koperasi, sebagai respon terhadap kegagalan politik kemakmuran pemerintah kolonial.
Apa yang dilakukan Boedi Oetomo itu adalah sebuah kritik penting yang cukup dasar, apalagi fokus Politik Etis salah satunya adalah pendidikan (edukasi), selain soal infrastruktur (irigasi) dan kependudukan (migrasi). Sebelum Perguruan Taman Siswa lahir pada 1922, Boedi Oetomo telah merintis gerakan pendidikan melalui pendirian studiefonds. Sebagaimana yang kita lihat pada periode-periode sesudahnya, gerakan pendidikan ini terbukti menjadi kunci penting gerakan kebangkitan nasional. ***