JAKARTASATU– KPK tidak berhak mengatur apa yang bukan menjadi kewenangannya seperti ingin melibatkan diri di proses pembentukan UU. Hal ini dikarenakan KPK adalah lembaga pelaksana UU.
“Apakah pembentukan UU itu kewenangan KPK, karena UU yang mengatur tentang dirinya. KPK sebagai pelaksana UU tidak boleh melibatkan diri ke dalam politik dan mempersoalkan UU. Jadi pelaksana UU itu ikut saja apa kata legislator,” demikian kata pakar hukum, Jimly Asshiddiqie saat ditemui oleh beberapa perwakilan Pansus, Kamis (7/9/2017), di kantor ICMI, Jakarta.
Namun demikian menurutnya KPK mempunyai hak etika unutk dimintai pendapatnya soal, misal bagaimana sebuah peraturan diubah. “Jadi misalnya DPR bersama Presiden mau memperbaiki UU, pantesnya KPK didengar.
Tapi KPK tidak boleh inisiatifnya untuk minta didengar. Dan itu berlaku untuk semua lembaga yang diatur UU. Apalagi MK. Misalnya UU MK mau diubah oleh DPR atau oleh presiden, inisiatif satu-satu. Ya, MK tidak bisa protes-protes karena bukan kewenangannya,” Jimly menjelaskan.
Menurut Jimly, itu public policy making. Urusan politis. Tapi pantasnya diundang. “Kelewatan jika tidak diundang. Dengarkan pengalamannya. Tapi itu soal kedua. Pertama kewenangan mutlak dari DPR. Ke depan memang banyak yang kita perbaiki,” tambahnya singkat.
Jimly mengingatkan agar lembaga penegak hukum tidak melakukan apa yang pernah terjadi di masa sebelum reformasi. “Misalnya dulu Pimpinan KPK itu pernah kirim surat menentang pengubahan UU. Ya, tidak bisa. Itu bukan urusan KPK. Itu urusan politik.
Semua lembaga yang diatur oleh UU pantesnya didengar tapi tidak boleh merasa berhak untuk menentukan. Bahwa nanti DPR akan berhadapan dengan public, ya, itu urusan DPR nanti. Lain lagi. Pelaksana UU diam saja. Itu etika konstitusional,” tutupnya ungkap. RI