JAKARTASATU– Kendati nama Joko Widodo menempati urutan pertama dalam survei yang dilakukan oleh Media Survei Nasional (Median), tetapi nama mantan Wali Kota Solo tersebut tidaklah sampai 50 persen, bahkan jauh. Di urutan kedua ada nama Prabowo Subianto.
Jokowi dianggap oleh masyarakat saat ini belum mampu menyelesaikan apa yang mereka rasakan, yaitu himpitan ekonomi; susah mencari kerja, kebutuhan pokok mahal, dam harga listrik pun juga mahal. “Jadi, tiga hal itu menurut saya yang membuat Pak Jokowi itu tinggi dibandingkan lainnya tetapi tidak dominan.
Sebab angkanya itu tidak ada di atas 50 persen. Berkisar 35-36 persen saja. Itu karena tiga hal tadi. Satu, public ragu akan kemampuan Jokowi dalam menyelesaikan hidup sehari-hari,” demikian kata Rico Marbun, Senin (2/10/2017), di Jakarta.
Hasil survey kita menyatakan bahwa public menginginkan figure alternative selain Jokowi dan Prabowo. Alasannya pertama karena adanya problem himpitan ekonomi yang sangat besar. Itu mempengaruhi seluruh level strata demografis masyarakat. Dan mereka melihat bahwa pembangunan infrastruktur yang ada selama ini, memang public akui sebagai keberhasilan itu, tapi tidak berbanding lurus dengan penyelesaian himpitan yang dialami oleh masyarakat (mereka) rasakan.
“Jadi, kebutuhan sehari-hari semakin mahal. Pembangunan jalan ada di mana-mana, tapi kok rasa-rasanya tidak ada hubungannya, dan itu yang data-data yang kami temukan. Selanjutnya atau yang kedua, kita bisa melihat bahwa public ini terbelah. Ada proporsi dari public yang cukup besar dan meragukan pemerintahan Jokowi menyelesaikan permasalahan-permasalahan tadi. Itu secara kompetensi,” tambahnya menjelaskan.
Kemudian yang ketiga adalah isu integritas, terutama dari kelompok pemilik modal di bawah usia 20-40 tahun itu merasakan ada kebijakan yang sekarang itu bersifat otoriter. Atau bersifat represif.
“Jadi, tiga hal itu menurut saya yang membuat Pak Jokowi itu tinggi dibandingkan lainnya tetapi tidak dominan. Sebab angkanya itu tidak ada di atas 50 persen. Berkisar 35-36 persen saja. Itu karena tiga hal tadi. Satu, public ragu akan kemampuan Jokowi dalam menyelesaikan hidup sehari-hari,” katanya lagi.
Ada pula proporsi yang menurutnya cukup besar yakni bahwa Jokowi dianggap anti Islam dan anti ulama. “Dan ada juga proporsi pemilih yang merasa bahwa ada kebijakan yang otoriter, walaupun tidak dominan tapi proporsinya cukup besar. Menurut saya itu harus dijadikan PR besar dari Pak Jokowi.
Secara identitas misalnya, ada proporsi public yang cukup besar pula yang percaya isu negatif bahwa Pak Jokowi ini anti Islam dan anti ulama, dengan mereka yang percaya itu menyebutkan ‘Kenapa banyak ulama, kenapa kok aktivis Islam yang ditersangkakan, kemudian dipenjarakan’,” tutupnya. RI