JAKARTASATU.COM – Salah satu yang menarik dalam peristiwa demokrasi Indonesia adalah tercerminnya tatanan yang baik dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung. Hal ini patut dibanggakan karena sejumlah negara menilai Indonesia telah berhasil membangun ini.
Paska tumbangnya rezim orde baru pada 1998 silam seakan dapat menyingkap tabir harapan yang puluhan tahun terkubur. Harapan itu pun terfokus pada kekuatan para pahlawan reformasi yang saat itu berhasil mendobrak pagar istana yang berdiri mengangkang selama 32 tahun lamanya.
Hanya saja harapan itu pun kini seolah kandas. Para pemuda yang menggelorakan pembebasan di era reformasi pun tergoda untuk mencicipi empuknya kursi senayan. Satu per satu semakin terlihat jelas bahwa godaan itu memakan semangat yang dulu pernah membakar dadanya. Atau ini masanya lain, atau bahkan cari hal lain agar nilai tatanan kenyaman dinikmati?
Seorang pemerhati Indonesia dalam hal politik dan pemilu dari Universitas Kyoto Jepang, DR Manssaki Okamoto mengungkapkan sejumlah hal atas padangan ini, Kami berhasil melalukan perbincanfan dengan Dr. Massaki Okamoto Massaki dan TIM JAKARTASATU.COM pada Jumat malam, (28/3). Okamoto bicara banyak dari mulai bedanya Indonesia dengan negara Asia lain ampai dia komentari soal Jokowi. berikut penuturannya yang kami himpun. selamat menyimak.
“Politik Indonesia sejak zaman reformasi masih terasa was-was. Baru pada tahun 2004 (politik Indonesia) mulai stabil. Ya, dari sisi stabilitas politik cukup baik tapi masalah lain muncul yaitu korupsi, itu yang menjengkelkan dan tidak selesai sampai sekarang kan. Sejak 15 tahun (reformasi bergulir) tidak ada perubahan malah lebih buruk kan korupsinya, sangat memprihatinkan,”ujarnya.
Padahal, sambung dia, masyarakat Indonesia sangat menaruh harapan terhadap padasemangat dan idealis generasi muda yang lahir sebagai seorang reformis bangsa. Namun rupanya ketidaksiapan mental mengahadapi lemahnya politik Indonesia membuatmereka tak berdaya.
“Waktu tahun 1998 saya punya harapan besar terhadap generasi muda yang usia 30 tahun kebawah tapi ternyata mereka juga melakukan korupsi. Mereka pahlawan reformasi ternyata ikut korupsi sampai masuk ke penyidik. Itu diluar dugaan saya . Waktu 98 pemuda-pemuda muncul kan, ternyata mereka tidak merubah malah dimakan oleh status quo ya. Itu yang sangat menyedihkan,”tuturnya.
Jangan Terpedaya oleh Propaganda
Sejak kampanye terbuka disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), paca caleg maupun capres sibuk melakukan berbagai macam propaganda lewatikln televisi dan semacamnya.
Dari pandangan Okamoto bahwa iklan propaganda tersebut dapat memberi stimulus bagi masyarakat sendiri untuk menyadari kelakuan dan track record para kandidat yang akan di pilihnya. Sehingga dengan kesadaran itu sedikitnya membuka paradigma baru dalam menentukan pilihan yang terbaik di antarapilihan-pilihan yang buruk.
“Apakah masyarakat senang dengan politik seperti itu. Mudah-mudahan masyarakat juga mulai semakin sadar meski Iklannya bagus-bagus sekali bahkan ada tokoh nasional dan sebagainya. Tapi semoga masyarakat sadar apa yang sebenarnya,”katanya.
“Jangan golput ya,bisa dipilih dari beberapa yang buruk ya pasti ada pilihan,”ucapnya lagi.
Kendati perpolitikan Indonesia beum stabil, sambung Okamoto, namun keadaannya masih jauh lebih baik dibanding negara tetangga yang lain seperti Thailand dan Fhilipina.
“Politik di Indonesia masih dipandang baik dibanding negara lain seperti Philipina dan Thailand. Masih ada harapan,”ujarnya.
Kian hari nama Jokowi kian melambung saja. Nama dan wajahnya begitu akrab di benak masyarakat. Hampir setiap hari Jokowi selalu muncul dilayar kaca dengan gaya khas blusukannya seakan nyaris tanpa cela.
Namun uji lapangan membuktikan bahwa prestasi Jokowi hanya sekelumit saja dibandingkan kegagalannya. Alih-alih saat kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, saat Jokowi menjabat Walikota Solo pun kejanggalan sangat kental menghiasi kinerjanya
Salah seorang pengamat politik dari Universitas Kyoto Jepang, Dr. Massaki Okamoto mengatakan meski Jokowi diprediksi berpeluang menang di pemilu nanti, namun banyak orang tidak menyadari bahwa sosok Jokowi tidak sehebat di pemberitaan.
Anehnya,kegagalan Jokowi yang jadi Waikota Solo nyaris tak pernah tersentuh oleh media padahal kejanggalan itu cukup besar dirasakan oleh masyarakat Solo. Ada apa?
“Saya pernah bertemu dengan Jokowi waktu dia menjabat Walikota Solo 5 tahun lalu. Waktu itu lagi pemindahan pasar tradisional ya, yang katanya sangat sukses. Saya beberapa kali bertemu dengan pedangang di sana.Ternyata separuhnya bangkrut. Jadi aspek yang gagal sama sekali tidak diungkapkan. Saya bertemu dengan pedagang ada banyak yang rugi juga,”ungkapnya.
“Kenapa sama sekali tidak menyinggung masalah yang ada di Solo. Kenapa ya, saya ingin tahu,”tanyan heran.
Disinggung soal kedekatan Jokowi dengan konglomerat Cina, Okamoto pun mensinyalir jika hal ini benar hanya saja publik sudah terlanjur memandang Jokowi sebagai pria ndeso yang memiliki daya tarik.
“Ada kabar kalau dia disokong konglo-konglo Cina, ya sama sekali tidak diketahui ya oleh masyarakat. Orang melihatnya sebagai orang sukses sementara aspek buruknya lupa. Jadi sebenarnya banyak yang anggap sukses namun banyak pula yang tidak suksesnya. Masih ada kegagalan yang itu tidak pernah disinggung,”ujarnya lagi.
Dalam hal ini, sambung dia, ia berharap gara para jurnalis memiliki kepekaan yang tinggi dalam mendalami perjalanan Jokowi. Sehingga pemberitaan di media tak terkesan berat sebelah.
“Terlalu sepihak itu kurang bagus untuk bangsa Indonesia. Harus ada yang objekif dan di sini tugas para jurnalis untuk mengungkapnya,”katanya
Kendati demikian,Okamoto menilai jika Jokowi masih dianggap baik dibanding calon presiden yang lainnya.
“Ya walau bagaimana pun Jokowi akan menang kalau tidak ada masalah. Peluang menang tinggi. Dan perusahaan Jepang juga dukung Jokowi. Bukan dari sisi financialnya ya, tapi suara dan maunya mereka gitu dibanding dengan calon yang lain. Karena mungkin Jokowi belum diuji kali ya,”tutupnya.(JKTS-09)