JAKARTASATU.COM – Setelah pertemuan capres Partai Golkar Abu Rizal Bakrie (ARB) dan capres Partai Gerindra Prabowo Subianto di rumah ARB kawasan elite Menteng, Jakarta, Selasa (29/4) lalu, maka semakin jelas arah koalisi yang bakal dibentuk nanti.

Meski pertemuan kedua tokoh parpol itu belum menghasilkan kesepakatan apa-apa, sebab keduanya masih ngotot ingin tetap maju sebagai capres pada Pilpres 9 Juli nanti, namun silaturrahmi kedua tokoh yang pertama kali terjadi pasca Pileg itu diharapkan akan membuka jalan bagi silaturrahmi berikutnya.

Memang diakui, koalisi saat ini masih begitu cair meski Pilpres tinggal 70 hari lagi. Terbukti hanya tiga hari setelah Pileg, Sabtu (12/4), ARB juga menerima silaturrahmi capres PDIP Jokowi di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta. Namun pembicaraan antara kedua capres dari partai nasionalis sekuler itu juga belum mengarah ke koalisi, sebab semuanya masih menunggu hasil pengumuman KPU pada 11 Maret nanti.

“Kami sepakat untuk membicarakan lagi (koalisi) pada kesempatan berikutnya. Golkar dan Gerindra masih sangat mungkin berbicara soal koalisi pada pertemuan-pertemuan berikutnya,” ujar ARB.

Namun politisi kawakan Golkar itu mengakui kalau dirinya dan Prabowo masih tetap ngotot ingin maju sebagai capres. “Saya tidak mundur dari capres, Pak Prabowo juga tidak,”” jelasnya.

Kalau kita mengacu pada quick qount Lingkaran Survei Indonesia (LSI), maka Golkar mendapat 14,56 persen suara dan menempati ranking kedua setelah PDIP 19,73 persen suara, sementara Gerindra ranking ketiga dengan 11,87 persen suara. Jika Golkar berkoalisi dengan Gerinda, maka akan menghasilkan 26,43 persen suara sehingga berhak untuk mengajukan capres dan cawapres sendiri, karena telah memenuhi syarat 25 persen suara sah Pileg atau 20 persen kursi DPR RI.

Jika koalisi keduanya ini sampai terjadi, maka akan menjadi koalisi dahsyat yang akan mampu membendung laju Jokowi untuk menduduki kursi RI-1, meski PDIP dan Nasdem (6,40 persen) sudah resmi berkoalisi yang menghasilkan 26,13 persen suara. Namun persoalannya, siapa yang mau mengalah untuk kursi RI-1 sehingga hanya dapat RI-2 ? sebab sebagaimana pernyataan ARB diatas, bahwa dirinya dan Prabowo tidak mau mundur sebagai capres. Kelihatan kedua tokoh itu belum memiliki jiwa kenegarawanan untuk legowo dan ikhlas menjadi cawapres, tetapi tetap ngotot ingin menjadi capres.

Saya berani memprediksi, jika ARB atau Prabowo legowo untuk menjadi cawapres sehingga kedua parpol berkoalisi, maka Pilpres nanti hanya akan diikuti dua pasang capres, yakni Jokowi dan wakilnya vs ARB-Prabowo atau Prabowo-ARB. Capres Jokowi akan didukung Nasdem (6,40 persen), PKB (9,07 persen), PPP (7,02 persen). Padahal PPP sebelumnya sudah berkoalisi dengan Gerindra, tetapi karena dalam pertarungan politik pasca Rapimas di Bogor Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali kalah, maka diprediksi PPP akan berbalik arah mendukung Jokowi.

Terbukti Sekjen PPP Romahurmuzy sudah berkali-kali ketemu Jokowi, sehingga Jokowi praktis didukung koalisi PDIP-Nasdem-PKB-PPP yang memiliki total kekuatan 42,22 persen suara.

Sementara pasangan capres-cawapres Prabowo-ARB atau ARB-Prabowo praktis akan didukung koalisi besar Golkar (14,56 persen), Gerindra (11,87 persen), PKS (6,61persen), PAN (7,44 persen), Partai Demokrat (9,70 persen), Partai Hanura (5,23 persen), PBB (1,38 persen) dan PKPI (0,98 persen). Koalisi besar ke delapan parpol itu akan menghasilkan suara Pileg 47,78 persen. Meski telah mengadakan konvensi capres, PD diprediksi akan mendukung pasangan ARB-Prabowo atau Prabowo-ARB mengingat SBY dan Prabowo memiliki latar belakang sama-sama militer dan kedua tokoh itu akhir-akhir ini sering melakukan silaturrahmi.

Sementara Hanura juga akan mendukungnya, sebab Wiranto dan Prabowo berlatar belakang sama-sama militer dan keduanya sudah sering melakukan komunikasi politik sebelum atau pasca Pileg. Sementara PKS, PAN, PBB dan PKPI sudah terlihat arahnya untuk mendukung Prabowo, sehinggga diprediksi mereka juga akan mengarahkan dukunganya kepada pasangan ARB-Prabowo atau Prabowo-ARB jika nanti keduanya benar-benar berkoalisi.

Memang Pileg berbeda dengan Pilpres, sebab peran parpol pendukung dalam Pileg sangat menonjol, sementara pada Pilpres peran ketokohan seorang capres lebih menonjol. Namun sekarang rakyat sudah pandai sehingga tidak mudah tertipu. Rakyat sudah mengetahui dibelakang Jokowi berdiri dua kekuatan raksasa, Asing dan Aseng, sehingga jiwa nasionalisme Jokowi sangat diragukan. Jika Jokowi sampai menang maka akan sangat berbahaya bagi kedaulatan NKRI.

Bahaya Jokowi

Politisi kawakan yang sempat keluar masuk penjara Orde Baru, Dr Ir Sri Bintang Pamungkas pernah mengatakan: “Jangankan untuk menjadi Presiden RI, menjadi Gubernur saja Jokowi tidak becus dan tidak mampu. Sebenarnya level Jokowi hanya menjadi Walikota Solo, kota kecil yang hanya berpenduduk 500.000 orang.” Bahkan menurut tokoh Reformasi, Amien Rais, yang pernah bertemu dengan Wakil Jokowi selama 7 tahun (2005-2012) ketika masih menjabat Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo, sebenarnya yang bekerja keras untuk membangun Kota Solo bukanlah Jokowi tetapi Wakilnya, Rudy. Jadi sesunggunya Jokowi tidak bisa bekerja apa-apa sehingga saham terbesar untuk menjadikan Kota Solo seperti sekarang ini lebih banyak dilakukan Rudy yang sekarang menjadi Walikota Solo daripada Jokowi. Sri Bintang Pamungkas dan Amien Rais tentu faham benar akan kondisi dan situasi Kota Solo selama 7 tahun dipimpin Jokowi, sebab sejak kecil Sri Bintang tinggal di Manahan Solo sementara Amien Rais asli wong Solo.

Bahkan penulis yang juga asli Solo menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Jokowi kebingungan dan tidak mampu mengatasi banjir besar yang melanda Solo tahun 2007 lalu akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo, sehingga terpaksa Presiden SBY yang mengatasinya dan datang berkunjung ke Solo. Mengatasi banjir Kota Solo yang berpendudik 500 ribu orang saja tidak mampu, apalagi mengatasi banjir, macet, sampah, pengangguran, pemukiman kumuh dan seabreg masalah sosial lainnya di Jakarta yang berpenduduk 10 juta orang, apalagi memimpin Indonesia yang berpendudik 250 juta orang dengan segala problematikanya dari Sabang sampai Merauke hingga masalah hubungan internasional yang demikian rumit dan kompleksnya.

Maka tidaklah mengherankan jika tampilnya Jokowi di panggung politik nasional yang begitu cepat meroket bak meteor dari seorang Walikota Solo kemudian menjadi Gubernur DKI dan sekarang menjadi Capres terkuat diantara kandidat lainnya, jelas ini tidak mungkin lepas dari pencitraan dan bantuan finansial secara besar-besaran yang digerakkan kekuatan asing terutama AS melalui agen-agennya di Indonesia. Siapapun capres yang mendapat restu AS, maka dapat dipastikan mereka akan memenangkan Pilpres.

Namun jika seorang capres mendapat restu AS, itu menunjukkan sang capres lemah sehingga membutuhkan restu dari kekuatan asing, karena dia tidak percaya diri sebab tidak mampu memimpin dan tidak berkualitas. Namun kalau dia memiliki integritas dan kepemimpinan seperti Soekarno-Hatta, maka restu-restuan dari pemerintahan asing tidak lagi diperlukan.

Tampaknya tampilnya Jokowi untuk memperebutkan kursi RI-1 sudah mendapat restu dari AS melalui kursi DKI-1 sebagai batu loncatannya. Terbukti awal 2012 lalu sebelum Jokowi maju untuk pencalonan Gubernur DKI, Dubes AS Scott A Marciel sempat berkunjung ke Solo dan bertemu Jokowi. Namun tidak diketahu apa isi pembicaraan diantara keduanya itu.

Sebab kemunculan Jokowi yang secara tiba-tiba dari seorang Walikota kota kecil yang hanya berpenduduk 500 ribu orang, kemudian berhasil menjadi Gubernur Ibukota dengan wilayah yang sangat luas dan berpenduduk 10 juta orang lebih dengan segala problematikanya, sungguh menimbulkan berbagai macam tanda tanya. Mustahil kalau tidak disokong dengan dana besar dan kekuatan asing dibelakangnya dengan segala rekayasa dan politik pencitraannya melalui media massa yang menjadi senjata utamanya terutama Sosmed dan Jasmed yang selama ini menjadi media andalan pencitraan Jokowi.

Namun untuk menuju kursi RI-1, ternyata Jokowi juga mendapat dukungan besar dari kelompok Cina Perantauan (Hoakiauw) dan Konglomerat Hitam yang memiliki kepentingan agar Ahok menduduki kursi DKI-1 dan Jokowi Presiden RI-1, apalagi ayah kandung Jokowi, Oey Hong Liong, adalah keturunan Cina dari Solo. Hoakiauw dan Konglomerat Hitam diduga telah menggelontorkan dana puluhan triliunan rupiah untuk memenangkan Jokowi merebut DKI-1 dan kembali akan menggelontorkan dana ratusan triliun rupiah agar Jokowi berhasil merebut kursi RI-1

Jika demikian, maka dapat dipastikan akan terjadi benturan dahsyat kepentingan antara kekuatan asing yang dimotori AS dan kekuatan konglomerat Cina yang saat ini menguasai 70 persen perekonomian nasional yang berafiliasi ke negara leluhurnya, Republik Rakyat Cina (RRC). Meskipun mereka akan berbenturan hebat, namun tujuan mereka sama yakni menjadikan kepemimpinan Presiden Jokowi agar selalu berada dibawah kendali dan bayang-bayangan kepentingan politik dan ekonominya ketika nanti menjabat Presiden RI, negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.

Namun yang dikhawatirkan adalah jika nantinya karena hutang budi dan balas jasa politik, pemerintahan Jokowi berani menjual aset dan kekayaan alam bangsa Indonesia dengan harga yang sangat murah kepada kepentingan asing sebagaimana terjadi pada berbagai pemerintahan sebelumnya. Kedua kekuatan raksasa Timur dan Barat itu akan “bertempur habis-habisan” untuk memperebutkan kue NKRI sehingga dikhawatirkan akan terjadi disintergarsi bangsa Indonesia.

Mengalahkan Jokowi      

Sebagaimana saya uraikan diawal tulisan tadi mengenai road map koalisi besar untuk mengalahkan Jokowi, sekarang yang menjadi pertanyaaan adalah, bagaimana taktik dan strategi politik untuk mengalahkan Jokowi agar tak jadi menguasai Istana ? Sebab jika sampai Jokowi menduduki kursi RI-1, maka bahaya besar akan menghadang negeri dengan penduduk 250 juta ini. Negeri ini akan menjadi rebutan dan kekayaannya akan menjadi jarahan kekuatan Asing (Barat) dan Aseng (Cina), sehingga akan tercabik-cabik bahkan tidak menutup kemungkinan bisa terjadi disintegrasi bangsa. Sebab untuk menuju kursi RI-1, Jokowi telah berhutang budi besar-besaran kepada si Asing dan si Aseng.

Saya kira hanya ada satu taktik dan strategi, sekali lagi hanya ada satu taktik dan strategi untuk menghadang Jokowi menuju Istana, yakni wajib hanya ada dua pasang capres-cawapres sehingga hanya satu putaran saja, yakni Jokowi dan wakilnya vs Prabowo-ARB atau ARB-Prabowo. Sebab jika ada tiga atau empat pasang capres-cawapres meskipun nanti akhirnya terjadi dua putaran, maka Jokowi pasti akan menang. Sebab biasanya pemenang putaran pertama pasti akan menjadi pemenang putaran kedua. Jarang sekali ditemukan dalam pilkada atau pilpres di Indoensia atau negara lain, pemenang putaran pertama akhirnya kalah dalam putaran kedua.

Sehingga perlu dibentuk koalisi besar untuk menghadang Jokowi menuju Istana. Kekuatan politik nasionalis Islam (Gerindra, Golkar, Demokrat, Hanura, PKPI) dan Islam nasionalis (PAN, PKS dan PBB) perlu bergabung dalam koalisi besar untuk menghentikan langkah Jokowi menuju RI-1, yang sudah pasti didukung PDIP dan Nasdem, sementara diprediksi PKB dan PPP akan menyusul. Jadi diharapkan akan terdapat dua koalisi besar yang saling berhadapan, dimana yang satu mendukung capres Jokowi dan lainnya mendukung capres Prabowo atau ARB.

Sebab berdasarkan pengalaman Pilkada Kota Solo tahun 2005 dan 2010 serta Pilgub DKI tahun 2012, Jokowi akan menang jika lawannya lebih dari satu pasangan. Dalam Pilkada Kota Solo tahun 2005, dimana Jokowi baru pertama kali menjadi calon Walikota yang berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo (Ketua PDIP Kota Solo), Jokowi menang karena waktu itu terdapat empat pasang calon Walikota dan Wakil Walikota. Padahal jika perolehan suara ketiga pasang calon lainnya digabung, maka Jokowi akan kalah telak. Demikian pula pada Pilgub DKI, dimana terdapat enam pasang calon. Seandainya hanya terdapat dua pasang calon, maka tidak perlu putaran kedua dan pasangan Jokowi-Ahok pasti akan kalah telak. Ibarat petinju kelas berat, kalau dikeroyok lima petinju kelas sedang pasti akan kalah. Tetapi kalau mereka maju satu per satu, maka akan menang.

Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah Prabowo ataupun ARB memiliki jiwa kenegarawanan untuk melepaskan ambisi politiknya menduduki kursi RI-1, sehingga pilpres hanya satu putaran dan menghemat anggaran negara triliunan rupiah ? Apakah perlu diadakan undian politik antara Prabowo dan ARB untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak maju sebagai capres melawan Jokowi ? Apakah mereka rela dan ikhlas memberikan kursi RI-1 kepada sahabatnya itu dan dirinya ikhlas legowo hanya mendapat kursi RI-2 demi masa depan Indonesia yang lebih baik, adil, makmur dan sejahtera, sehingga mampu dan memiliki keberanian untuk melawan bahaya dominasi Asing dan Aseng yang sudah cetho welo-welo didepan mata bahkan sudah sejak lama mengobrak-abrik dan menginjak-injak kedaulatan NKRI.

Jadi sesungguhnya Jokowi itu antek Asing dan Aseng, naudzubillah min dzalik.

Tinggal Prabowo, akankah Indonesia menjadi seperti Rusia di bawah Putin? Atau Pilih Jokowi yang akan membawa Indonesia bagai babu Yahudi dan Mafia Singapura?

Pertanyaan terakhir, Lalu kemana saja tokoh Islam dan mana manfaat bagi umat hasil dari pertemuan Cikini bulan April lalu?Penulis: Dr Tjipto Subadi MSi, 

Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Geografi FKIP dan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Email: [email protected]

Dikutip dari http://www.voa-islam.com/