JAKARTASATU.COM, JAKARTA – Meski dinyatakan sebagai pemenang pemilu presiden (pilpres) 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa malam 22 Juli 2014. Bukan berarti Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI. Menurut hukum, status Jokowi sampai dengan hari ini adalah Calon Presiden Terpilih, bukan Presiden Terpilih.
Analis politik Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin melalui keterangan pers yang diterima PorosNews.com, pada Kamis, 24 Juli 2014, menegaskan untuk bisa menjadi presiden terpilih, sejatinya mantan Walikota Surakarta itu masih harus melewati dua tahap pertarungan lagi.
Apa sajakah tahap tersebut? Tahap pertama, Jokowi harus bisa memenangkan pertarungan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilu presiden (pilpres) 2014 di Mahkamah Konstitusi jika kubu Prabowo Subianto mengajukan gugatan ke MK.
“Di MK nanti, bisa saja Keputusan KPU yang menetapkan Jokowi sebagai calon Presiden terpilih dianulir. MK berwenang untuk mengganti pemenang Pilpres. Sebagai contoh, dalam PHPU Pemilu kepala daerah, hal yang semacam itu pernah terjadi. Diantaranya pada kasus PHPU Pemilukada Kotawaringin Barat,” kata penggiat demokrasi yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Demokratis (KMPD) tersebut.
Kemudian, jika MK nanti menolak gugatan yang diajukan Jokowi, maka pertarungan Jokowi masih berlanjut di gelanggang politik. Dalam pertarungan ini parpol pendukung Jokowi baik PDIP, PKB, Hanura, NasDem harus mampu menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Jokowi.
Jika ditinjau dari komposisi dukungan pasangan Jokowi-JK, jumlah kursi yang dimiliki 4 partai tersebut hanyalah 207 kursi. Sedangkan kubu Prabowo Subianto-hatta Rajasa sendiri didukung oleh 6 partai politik yang masuk parlemen dengan jumlah kursi sebanyak 353 kursi.
“Nah, pertarungan politik ini adalah pertarungan yang paling berat menurut saya.
Kalau parpol koalisi Prabowo sampai menolak menggelar sidang paripurna sehingga MPR tidak bisa bersidang, maka partai pendukung Jokowi-JK harus berjuang dengan cara yang lain, yaitu dengan menggelar sidang paripurna DPR untuk melantik Jokowi. Itu mekanisme pelantikan atau pengangkatan sumpah Presiden terpilih apabila MPR tidak dapat bersidang,” sambung Said.
Masih kata Said, kalau DPR ternyata juga tidak dapat bersidang karena parpol koalisi Prabowo tetap menolak, maka peluang terakhir untuk melantik Jokowi sebagai Presiden adalah dengan menghadirkan pimpinan MPR. Itu mekanisme pelantikan dalam kondisi terburuk menurut Pasal 162 ayat (3) UU No. 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan wakil presiden (pilpres).
“Jadi jika MPR tidak dapat menggelar sidang paripurna untuk melantik Presiden dan wakil Presiden terpilih, alternatifnya adalah dengan menggelar sidang paripurna DPR. Tetapi kalau DPR juga tidak bisa menggelar sidang paripurna, maka pelantikan dilakukan dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung,” jelas Said.
“Nah, kalau pimpinan MPR nantinya didominasi oleh partai koalisi pendukung Prabowo yang lagi-lagi menolak untuk melantik Jokowi, maka disinilah saya kira akan muncul malapetaka politik. Sungguh saya tidak bisa membayangkan jika kondisi itu benar-benar terjadi,” tutup Said. (PN/MARC).