JAKARTSATU.COM – Dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN PT Pertamina (Persero) terkait proyek Pengadaan FSRU (Floating Storage Receving Unit) atau Terminal Penampung dan Penyimpanan LNG Terapung, akan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh MIGAS Watch, dalam 1-2 hari mendatang.
Demikian disampaikan M Suryawijaya Direktur Eksekutif dan Wiliam Zaihur Kepala Divisi Litigasi MIGAS Watch pada acara Diskusi bertemakan “Mengungkap Mafia Korupsi Migas RI” di Bidakara Hotel, Rabu lalu (06/08).
“Kami sudah menginventarisir berbagai korupsi di Kementerian ESDM, Pertamina, SKK Migas, BPH Migas dan lain-lain. Banyak temuan korupsi pada proyek-proyek Migas, diantaranya yang paling menonjol adalah di subsektor gas. Mulai dari penyimpangan terhadap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai dengan penggelembungan nilai proyek dan suap kepada oknum-oknum terkait,” jelas Suryawijaya, Rabu (06/08).
Suryawijaya menilai khusus pada proyek pengadaan FSRU atau terminal penampung LNG terdapat temuan menonjol, di mana telah terjadi kolusi sejumlah pejabat tinggi dari Kementerian ESDM, SKK Migas dan Pertamina.
Sementara itu Kepala Divisi Litigasi MIGAS Watch Wiliam Zaihur mengatakan, postur korupsi di subsektor gas pada dasarnya sama dengan subsektor minyak. Para pelaku dan modusnya sama. Yang membedakan adalah intensitas dan frekwensi korupsi para mafia migas karena perkembangan subsektor gas saat ini jauh lebih bergairah, khususnya di Indonesia yang cadangan minyak buminya semakin menipis.
Sebagaimana diketahui, Kementerian ESDM pada tahun 2011 telah merencanakan membangun sejumlah FSRU dan FSRT (Floating Storage Receiving Terminal) di beberapa lokasi strategis, seperti : Pantai Laut Jakarta Utara, Pantai Laut Belawan ( Sumatera Utara), Pantai Laut Semarang, dan seterusnya.
Semua proyek pengadaan itu berdasarkan rencana akan dibangun oleh pemerintah sendiri atau Pertamina. Namun dalam pelaksanaannya ditemukan banyak penyimpangan, dengan modus sewa-menyewa FSRU dari pihak ketiga (swasta) untuk jangka waktu tertentu. Pada tahapan inilah terjadi kerugian negara karena praktek penggelembungan harga dan suap.
“Modus korupsi itu (sewa) merugikan negara ratusan miliar rupiah. Namun, yang terbesar tetap pada penggelembungan cost recovery seperti yang terjadi di Blok Migas Kangean, Lapangan Gas TSB (Terang – Sirasun – Batur) Jawa Timur. Penggelembungan cost recovery nya lebih 100% atau hampir US$ 600 juta (Rp 7 triliun). Termasuk dari mark up dalam sewa FSRU BW Joko Tole (Ex BWGenie), ” ungkap Wiliam.
Wiliam mengaku pihaknya sudah memiliki bukti yang cukup, termasuk nama para pelaku terduga korupsi, modus, tempus dan besar kerugian negara atas kasus ini.
“MIGAS Watch hanya tinggal menyusun konstrusi hukumnya agar kasus ini kuat, sehingga tidak ada alasan bagi KPK atau Kejaksaaan tidak menuntaskannya.” Tandasnya.