Oleh : Ferdinand Hutahaean​, RUMAH AMANAH RAKYAT​,
​BELA TANAH AIR​
Demokrasi yang tercela, itulah julukan yang patut dan layak disematkan kepada Pilkada Jakarta dengan segala kecurangan dan ketidak adilannya.​ Ketika trinitas politik yaitu kekuasaan, uang dan media menjadi kekuatan utama memenangkan kontestasi politik, maka disitu kita telah kehilangan ruang dan kesempatan untuk memilih dan mendapatkan pemimpin yang sesuai kebutuhan dan sesuai kehendak dasar demokrasi yang bernurani. Siapapun akan berhasil memenangkan kontestasi politik dengan kekuatan trinitas politik, kekuasaan, uang dan media.
Lantas untuk apa lagi ada demokrasi ketika penguasa dengan kekuasaan, uang dan media bisa menentukan siapa yang akan jadi kepala daerah?​
Negara menuju demokrasi tercela dan ini adalah ancaman bagi negara dan ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Trinitas politik kekuasaan, uang dan media telah sempurna mematikan idealisme dan menggantinya dengan pragmatisme.​
Demokrasi yang tertindas, itu jugalah julukan yang pantas disematkan kepada Pilkada Jakarta saat ini.​ Demokrasi telah ditindas oleh sentimen primordialisme berlebihan. Demokrasi telah di intimidasi oleh sentimen populisme. Suku, agama, ras telah menjadi materi utama menindas demokrasi Jakarta yang seharusnya demokrasi tidak mengenal agama, tidak mengenal suku dan tidak mengenal ras. Meski kita semua hidup dan berpedoman pada agama yang dianut dan norma-norma dalam suku dan ras masing-masing. Namun semua itu bukan untuk dibenturkan ditengah implementasi demokrasi. Bahkan lebih mengerikan lagi ketika orang mati pun masih harus tertindas sebagai akibat demokrasi yang menindas ini. Inikah kita sesungguhnya? Inikah Indonesia yang kita pahami?
Sikap Agus Harimurti Yudhoyono yang telah disampaikan baru-baru ini jelas menggambarkan sebuah kekuatiran akan tercelanya demokrasi Jakarta, jelas menyiratkan kekuatiran atas tertindasnya demokrasi saat ini. Tentu AHY yang mengecap didikan patriotis dan nasionalis saat di TNI serta didikan dan ajaran kebangsaan dari SBY yang seorang negarawan menjadi basis utama AHY mengambil sikap dengan mengedepankan kepentingan Jakarta secara khusus dan Indonesia secara umum. AHY menyatakan, ini bukan pertempuran kita. Wajar, karena AHY tidak akan pernah mau terlibat dalam sebuah pertempuran yang tercela dan menindas. Tidak mau masuk kedalam konflik primordialisme yang semakin tajam dalam demokrasi Jakarta, dan itu adalah sebuah sikap AHY sebagai pemimpin rakyat sesungguhnya, yang tidak ingin menghalalkan cara apapun untuk berkuasa.​ Dan jelas sikap itu bukan sikap cari aman seperti yang sering diucapkan beberapa pihak, tapi itu adalah sikap yang sudah tepat dan sarat aroma Pancasilais yang berbhineka tunggal ika.
Demokrasi Jakarta telah menjadi ancaman perpecahan bagi bangsa. ​Jika sentimen primordialisme dan pemaksaan kekuasan terjadi dibanyak daerah, maka niscaya bibit disintegrasi bangsa akan tumbuh subur karena pihak yang kalah akan merasa bahwa ketidak adilan dari kekuasan yang berkolaborasi dengan uang dan media telah mengamputasi demokrasi.​ Tentu yang namanya kecurangan dan ketidak adilan akan memicu gerakan perlawanan dan sangat mungkin memicu disintegrasi. Hal ini butuh perhatian serius serius dari penguasa agar bisa lebih bijak menentukan sikap didalam demokrasi.
​Indonesia harus dijaga, harus diselamatkan dari ancaman demokrasi tercela dan demokrasi yang menindas.​ Indonesia harus dirawat agar tetap ada dan utuh sebagaimana cita-cita bangsa ini dimerdekakan oleh para pendiri bangsa. Indonesia harus menjadi Indonesia yang seutuhnya. Menjadi bangsa yang hidup dengan segala perbedaannya, hidup dengan berbagai macam suku, ras dan agama. Hidup berdampingan hanya dengan semangat membangun Indonesia dengan menanggalkan segala identitas primordialis. Satu-satunya identitas yang boleh kita tampilkan adalah identitas kita orang Indonesia, identitas kita Merah Putih, identitas kita patriot Pancasila.
Masih ada waktu untuk menghentikan dan mencegah konflik besar yang sangat mungkin terjadi dan sudah didepan mata. Tanpa keadilan memang ancaman ini akan sulit ditangkal. Tanpa sikap netral pemerintah maka ancaman konflik identitas ini akan sulit dicegah, dan jika elit-elit bangsa justru bangga menggunakan sentimen primordialis dan sentimen identitas untuk memenangkan kontestasi demokrasi ini, maka adalah menjadi sebuah keniscayaan benturan akan terjadi dan yang menjadi korban adalah rakyat, bukan elit. Masih ada waktu bagi Jakarta untuk mengakhiri semua kemelut berpotensi konflik ini menjadi damai dan tenang dengan memilih pemimpin sesuai nurani, tanpa intimidasi dan tanpa rekayasa paksaan dari kekuasaan.
Jangan kita lukai Indonesia dengan konflik identitas, jangan sakiti Indonesia dengan konflik primordialis, jangan kita rusak masa depan bangsa dengan demokrasi tercela dan demokrasi yang menindas. ​Kita bangun Indonesia seutuhnya dengan demokrasi yang ber Pancasila, demokrasi yang bernurani, demokrasi yang menempatkan suara rakyat sebagai nilai tertinggi. Majulah Indonesia…!!!​
Jakarta, 18 Maret 2017