OLEH Djoko Edhi S Abdurrahman
(Mantan Anggota Komisi Hukum DPR dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU)
Pidana Harta Kekayaan (quasi criminal property law) adalah hukum pidana modern untuk menjerat kejahatan bisnis terorganisasi, di sini disebut kejahatan korporasi. Menurut Profesor Indriyanto Seno Adjie takkan dapat dijangkau dengan hukum pidana konvensional.
Belakangan muncul Perma No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Kejahatan Korporasi memberi harapan. Saya tak yakin ius contitutum (hukum terkini) maupun ius contitiendum (hukum masa depan) adalah itu. Sebab, kedua ius pada fenomena TPK (tindak pidana korupsi) lebih butuh criminal law policy (kebijakan hukum pidana) yang sudah beranjak dari filsafat klasik Kantianisme (retributif dan represif).
Bandingannya adalah UNCAC (United Nation Convention Against Corruption – Konvensi PBB tentang Anti Korupsi) Tahun 2003 yang diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2006.
Secara filosofis, sosiologis, yuridis menunjukkan UU No 7 adalah mixed system dari Konvensi UNTOC (Palermo) dan Konvensi UNCAC (Mexico). Model campuran ini diproyeksi sebagai modernis yang sudah menyesuaikan diri dengan pergeseran corporate crime of corruption ke organized crime of corruption (mafioso). Percampuran civil law system dengan common law system, disebut mixed system of law system model.
Faktanya hanya sampai pada model. Kita tak paham lebih jauh. Sebab, penal policy nasional saja masih belum jelas. Tak satu pun TPK internasional yang pernah kita tangani, apalagi dengan model campuran. Karena hukum tak mampu, TPK kejahatan korporasi dan pidana harta kekayaan telah diputihkan menggunakan Tax Amnesty.
Secara empirik dikenal mutasi TPK dari semula personalized crime (orang) menjadi organized crime (mafia), dari kejahatan nasional menjadi lintas negara (transnational crime), dan white collar crime (TPK orang) menjadi systematic collar crime (TPK organisasi atau kejahatan korporasi). Secara teoritik, itu frame penal policy UNTOC (United Nation Against Transnational Organized Crime – 2000), tujuannya menjaga sustainable development, welfare state, demokrasi, kemanusiaan, stabilitas hukum akibat TPK mafioso.
Di mana modernitasnya ya? Kegiatan pembaruan hukum pidana (penal policy) jelas nihil. KUHP dan KUHAP belum pernah diamandemen. Sedangkan UU KPK sudah anti amandemen. Hanya UU Tipikor yang diamandemen dengan UU No 20 Tahun 2001. Maka, hanya UU Tipikor yang agak modern (hasil amandemen UU PTPK 1971). Pendekatan TPK kejahatan korporasi hanya tercantum di UU Tipikor yang dibuat khusus (lex spesialis) untuk Jaksa Agung pada awalnya, lalu digantikan oleh KPK ketika UU KPK terbentuk.
Faktanya, hanya 5 kasus TPK kejahatan korporasi yang ditangani hukum selama ini. Tak satu pun yang finish. Itu kondisi hukum kita hari ini.
Tak terlalu salah jika ada keraguan terhadap optimisme Profesor Suryo, Ketua Penyusun Perma Penanganan Kejahatan Korporasi. Tapi Suryo yakin Perma ini berdaya.
Asset recovery menjadi tujuan UU ini. Masalahnya, hukum pidana tidak mengakui win win solution approach yang digunakan hukum perdata. Hukum pidana hanya mengakui lose solution approach. UNTOC, menerima win lose solution approach. Ini disebut mixed, memakai balance probabilty principal, perampasan asset in rem, dan global criminal system UNCAC.
Progress Hukum Pidana TPK
Satu-satunya UU hukum pidana TPK yang mengalami kemajuan adalah UU Tipikor No. 31 Tahun 1999, hasil amandemen UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) 1971. Ini rapor kita.
UU Tipikor dimuat LNRI Tahun 1999 No.140 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3874, adalah undang-undang pidana khusus. Yaitu undang-undang tindak pidana murni yang memuat ketentuan khusus yang berbeda dengan KUHP dan KUHAP. Jadi, amandemennya lahir setelah UNTOC dan sebelum UNCAC.
Pembedanya terhadap KUHP dan KUHAP disebut “Spirit 8 Moral”. Menurut saya, Profesor Romli Atmasasmita DKK menemukan ide spirit moral, berangkat dari dendam KKN atas kekuasaan Orde Baru, dan semangat reformasi untuk memberantas TPK.
Spirit itu merekomendasikan dibentuknya Tim Penyidik Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK), dikoordinir Jaksa Agung (Pasal 27).
TGPK dibentuk 2001, melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Spirit 8 Moral kini hilang, big problem.
Spirit 8 Moral memandang korupsi sebagai kebudayaan, berbasis moral hukum. Jadi bukan moral masyarakat. Melainkan moral hukum. Hukum yang harus bermoral. Harus ada dialektika moral baru yang disebut reform. Ketika hukum kehilangan moralnya, hukum hanya dramaturgi norma teknik yuridis dari positivisme yuridis. Revolusi pun dimulai rezim reformasi.
Moral Nomor 1, mengikis komunitas yang selalu mengedepankan “supremasi paternalistik” KKN, dengan larangan suap terhadap pegawai negeri (Pasal 5 dan 6). Ini memulai UU Gratifikasi, namun menurut Profesor Andi Hamzah, belum memiliki UU Influence Trading (dagang pengaruh), seperti dakwaan awal KPK kepada Ketua DPD Irman Gusman.
Moral Nomor 2, menghidupkan kontrol internal dini yang membenarkan JPU menyita harta kekayaan (Pasal 33, 34, 38 Ayat 5).
Moral Nomor 3, memberdayakan kontrol eksternal peran serta masyarakat, diberi perlindungan 30 hari sejak permintaan atas laporan TPK (Bab V, Pasal 41, 42). Ini memulai UU Perlindungan Saksi.
Moral Nomor 4, budaya malu (shame culture). Tersangka wajib menerangkan asal-usul harta kekayaan, termasuk kekayaan keluarga, perusahaan, dan korporasi (Pasal 28, 37 Ayat (3) dan (4). Ini memulai ide pembuktian terbalik terbatas, dan UU TPPU (money laundry).
Moral Nomor 5, moral restraints (hambatan moral) dengan ancaman (i) pidana khusus, (ii) pidana maksimum, (iii) pidana mati, dan (iv) pidana tambahan (Pasal 2, 3, 5, 11).
Moral Nomor 5 ini belum sukses dilaksanakan. Belum ada koruptor yang dihukum mati! Mustahil, karena dinegasikan oleh UU No 20 Tahun 2001 (UU ini reconsideration UU No 31 Tahun 1999. Subtansinya sama). Yang dihukum seumur hidup, baru Ketua MK Akil Mochtar. Yang dihukum maksimum, dicoba oleh Hakim Agung Artidjo Alkausar. Belakangan ancaman JPU kian remeh temeh, begitu juga vonis Majelis Tipikor.
Pada rezim Abraham Samad, pendekatan hukum retributif, sukses besar. KPK sempat berubah hantu. Retributif adalah hukum yang memandang kian tinggi penderitaan akibat vonis, kian terhukum khalayak sehingga publik jera.
Setelah Samad berlalu, kembali ke utilitarian, paradok dengan Moral Nomor 5 ini yang menghendaki kejeraan publik secara radikal. Tiongkok berhasil berkat hukuman mati. Tiga kejahatan luar biasa (extra ordinari crime), terorisme, narkoba, dan korupsi, hanya korupsi yang lolos dari hukuman mati (state murder).
Saya tak setuju state murder, dan lebih setuju dikeluarkan dari pidana pokok ke pidana alternatif seperti pada RUU KUHP dan KUHAP. Tapi secara teknik tak bisa memindah hukuman mati dari primer ke subsider pada hukum acara.
Moral Nomor 6, lembaga sustainabel TPK untuk penyelenggara negara. Rekomnya, bentuk KPK dengan undang-undang (Pasal 43), dan transparansi kasus TPK (Pasal 41). Hasilnya KPK kini, dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Transparansinya belum. Dengan UU KPK ini, tugas Jaksa Agung sebagai koordinator selesai, diganti KPK selaku supervisor Kepolisian dan Kejaksaan.
Moral Nomor 7, budaya kooperatif penyidik TPK koordinasi Jaksa Agung (Pasal 27). Yaitu dibentuk TGPK yang pada 2003 membubarkan diri diganti KPK, beroperasi 2004.
Moral Nomor 8, koordinasi Lembaga Bukan Hukum untuk membuka rekening tersangka secara leluasa (Pasal 29, 30). Dari sini lahir PPATK di bawah presiden.
Karakteristik Moral Lex Specialis
Spirit 8 Spirit Moral tadi membakukan 12 karakteristik lex specialis UU Tipikor (Chairudin Ismail, disertasi, “Pidana Harta Kekayaan”, Merlyn Lestari, 2009).
Pertama, UU Tipikor telah mengubah delik materil menjadi delik formil. Yaitu, unsur PMH dan di Pasal 141, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana.
Kedua, dicantumkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum korupsi. Ini yang berhubungan dengan Perma TPK dari Mahkamah Agung. UU KPK tidak menjangkau ini.
Ketiga, perluasan yurisdiksi dari nasional ke internasional (extra territory jurisdiction) untuk TPK transnasional (transnational crime) dan TPK Mafia (organized crime). Terkini harus memperluas praktikum TPK atas kesepakatan pertukaran informasi keuangan (finance information exchange) yang digagas OECD dan G20, khususnya untuk transfer pricing (taxes), narkoba, terorisme, dan kejahatan ekonomi tax heaven.
Keempat, menghadirkan system pembuktian terbalik (balanced burden of proof) dari yang tadinya, JPU yang wajib membuktikan menurut KUHAP, menjadi terdakwa yang membuktikan.
Kelima, dimunculkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus.
Keenam, dimunculkan ancaman pidana mati sebagai pemberatan. Menurut saya, jika akan dipindah ke pidana alternatif, prasyarat pemberatan dinaikkan dari yang semula TPK ketika negara dalam keadaan bahaya, menjadi subversif ekonomi yang dapat dilakukan pada saat amandemen UU KPK.
Ketujuh, dicantumkan adanya penyidik gabungan, TGPK, yang setelah muncul KPK diubah menjadi hak supervisi KPK.
Jadi posisi, wewenang Jaksa Agung selaku koordinator sepanjang periode lex specialis UU Tipikor (1999 – 2003), telah dialihkan kepada KPK dengan istilah “supervisor”. Sama itu.
Wewenang ini beroleh hambatan dan perlawanan dari Bareskrim Polri, “Cicak versus Buaya” jilid 1 dan 2 di masa rezim Antasari Azhar dan rezim Abraham Samad. Terkini, karena ketakutan dikerjai kepolisian, rezim Agus Rahardjo mengubah hak supervisi tadi menjadi “supervisi online”. Sudah jauh beda. Kecuali KPK diberikan Hak Imunitas sebagaimana telah diminta oleh KPK.
Karenanya, saya setuju UU KPK diamandemen untuk mengembalikan fungsi supervisi dan menyiapkan KPK ke open information exchange OECD, G20, dan Tax Heaven yang menjadi kebijakan Presiden Jokowi.
Jika tidak, mau-tak-mau harus memberikan hak penyidikan kepada PPATK sebagaimana dimintanya, khususnya menambal fungsi IRS (Internal Revenue Services) yang tak dimiliki Kementerian Keuangan RI dalam rangka menjaga pajak dan uang milik WNI di luar negeri.
IRS adalah polisi pajak non-fiskus, 2 tahun lalu menyidik Bank Swiss karena UBS menyelundupkan 43.000 wajib pajak Amerika Serikat. Presiden Obama berhasil menarik 8 miliar USD dari kasus ini.
Kedelapan, UU Tipikor memasukkan perluasan penyidikan rahasia bank, berupa pembekuan rekening (freezing) dan penyitaan rekening (seizure).
Kesembilan, dicantumkan perlindungan peran serta masyarakat, perlindungan saksi (saya ikut menandatangi hak inisiatif UU Perlindungan Saksi 2004), ditambah Perma Whistle Blower dan Justice Collabulator belakangan.
Pada Rezim Agus Rahardjo, peran serta masyarakat ini melemah sejak dipetieskannya kasus RSSW.
Kesepuluh, UU Tipikor mengamanatkan pembentukan KPK sebagai badan independen. Artinya, jenis UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, adalah jenis UU yang bertanggung jawab kepada UU, dan melapor kepada UU di mana para komisioner beroleh legitimasi dari DPR. Lex specialisnya penuh.
Pada UU Tipikor, tidak penuh di mana Jaksa Agung bertanggung jawab kepada UU tapi melapor kepada Presiden, sama dengan UU PPATK.
Kesebelas, UU Tipikor meluaskan pidana pegawai negeri, khususnya delik korupsi penyuapan.
Keduabelas, UU Tipikor memuat pidana tambahan yang diperluas dari KUHP dan UU PTPK 1971.
Karena ketika UU Tipikor diberlakukan, UU PTPK dinyatakan tidak berlaku, terjadi kekosongan hukum untuk kasus yang terjadi sebelum 1999, dimunculkan UU No 20 Tahun 2001 sebagai perubahan UU Tipikor. Saya lampirkan Tabulasi Kebijakan Kriminalisasi UU PTPK.
Prinsip Perma
Pernyataan pertama yang membuat saya tercengang adalah pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo yang akan menggarap kejahatan korporasi saat rezim baru KPK tersebut mulai beroperasi. Luar biasa. Bagamana komisi itu akan menggarapnya? Saat itu issu Perma belum ada.
Jika harus menggunakan KUHAP, pada tahap pemanggilan terdakwa sudah bermasalah. Subjeknya bukan orang (personalized crime), melainkan korporasi (corporate crime). Nama, umur, pekerjaan, alamat, ada pada korporasi. Tapi jenis kelamin dan agama, korporasi tak punya. Obscuur libel.
Next di surat dakwaan, juga kabur. Perma memberikan pedoman kerja, semacam subtitusi hukum acara yang mestinya bisa menjadi biz.
Pertama, proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap korporasi dan atau pengurusnya sebagai tersangka.
Surat panggilan memuat nama korporasi, tempat kedudukan, kebangsaan korporasi, status korporasi dalam perkara pidana (saksi/ tersangka/terdakwa), waktu dan tempat pemeriksaan, dan ringkasan dugaan peristiwa pidana.
Kedua, Perma mengatur syarat surat dakwaan (Pasal 12), masih merujuk Pasal 143 ayat (2) KUHAP dengan penyesuaian isi surat dakwaan memuat: nama korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/ perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan korporasi, jenis korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili. Selain itu, memuat uraian secara cermat, jelas, lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Ketiga, pemisahan kesalahan pidana antara korporasi dan pengurusnya. Yaitu, (i) korporasi memperoleh manfaat dari tindak pidana yang dilakukan demi kepentingan korporasi, (ii) lorporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, (iii) korporasi tidak mencegah TPK.
Keempat, pengaturan sanksi pidana korporasi yakni pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan, seperti uang pengganti, penutupan perusahaan, ganti rugi, dan restitusi.
Kelima, sistem pembuktian penanganan tindak pidana korporasi ini masih mengacu KUHAP dan UU tertentu yang mengatur khusus soal sistem pembuktian. Hanya Perma menyatakan keterangan korporasi merupakan alat bukti sah di persidangan. Sedang kejaksaan sudah memiliki Peraturan Jaksa Agung (Perja) No 28 Tahun 2014.
tentang Penanganan Kejahatan Korporasi.
Karena koordinator penyidikan TPK adalah KPK, tak ada jalan lain selain berharap terhadap kinerja KPK. Perma mungkin banyak membantu. Tapi tidak dalam penal policy hukum modern yang dimaksud Andriyanto Seno Adjie karena UU KPK anti amandemen, sementara RUU KUHP dan RUU KUHAP, saya tak yakin rampung periode ini.
Daftar Bacaan
Adjie, Indriyanto Seno, 2006, “Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian”, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adjie dan Rekan, Jakarta.
———- 2009, “Korupsi dan Penegakan Hukum”, Diadit Media, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 2010, “Globalisasi dan Kejahatan Bisnis”, Kencana, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2004, “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
———- 2006, “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ismail, Chairuddin, 2009, “Pidana Harta Kekayaan – Suatu Alternatif Kebijakan Hukum Pidana Pemberantasan Korupsi”, Merlyn Lestari, Jakarta.
Mahkamah Agung, 2016, Perma No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Kejahatan Korporasi, Jakarta.
PBB, 2000, United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, Palermo.
———- 2003, United Nation Convention Againts Corruption, Mexico, diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Anti Korupsi PBB, Juni 2006.