OLEH JAYA SUPRANA
THE South China Morning Post memberitakan sebuah berita dengan judul "Jakarta vote winner must repair damage" (Pemenang Pilkada Jakarta harus memperbaiki kerusakan). Judul tersebut disusul sub-judul “Anies Baswedan shamelessly used Islam to claim the governorship of Indonesia’s capital from the incumbent, Basuki Tjahaja Purnama, an ethnic Chinese Christian In doing so, Indonesia’s reputation for religious tolerance and pluralism has suffered”. (Anies Baswedan tidak malu menggunakan Islam untuk mengklaim tahta gubernur Ibukota Indonesia dari petahana, Basuki Tjahaja Purnama, seorang etnik China-Nasrani. Dengan berbuat begitu, reputasi Indonesia dalam toleransi agama dan pluralism tercemar).
Kemudian sebuah kalimat menegaskan bahwa "Purnama went through to the second round of voting, but lost despite being widely acknowledged as being among the best administrators Jakarta has ever had. The preferred choice of President Joko Widodo, he was tipped to be a future national leader. (Purnama kalah pada putaran dua pilkada meski secara luas dianggap sebagai salah satu gubernur Jakarta terbaik. Sebagai pilihan presiden Joko Widodo, dia diharapkan menjadi pemimpin nasional masa depan).
Dapat dimengerti bahwa sebagai media China maka secara sadar atau tidak sadar The South China Morning Post berpihak ke pihak tertentu . Kalimat “Anies Baswedan shamelessly used Islam to claim the governorship of Indonesia’s capital from the incumbent, Basuki Tjahaja Purnama, an ethnic Chinese Christian In doing so, Indonesia’s reputation for religious tolerance and pluralism has suffered” mengesankan bahwa sang penulis kalimat sudah ikut tertular Islamophobia .
Lazimnya, kata “shameslessly” tidak digunakan pada suatu pemberitaan yang benar-benar obyektif. Kalimat yang menegaskan bahwa “Purnama went through to the second round of voting, but lost despite being widely acknowledged as being among the best administrators Jakarta has ever had” mengesankan sang penulis kalimat tidak sadar bahwa pemerintah Jakarta di bawah komando Basuki Tjahaja Purnama melakukan penggusuran rakyat dengan cara yang sempurna melanggar hukum sesuai vonis majelis hakim PTUN Jakarta sekaligus juga melanggar HAM seperti yang dinyatakan oleh LBH Jakarta.
Fakta bahwa Basuki Tjahaja Purnama kalah pilkada akibat tidak dipilih oleh mayoritas rakyat Jakarta sebenarnya tidak perlu dipersolek demi diperelok dengan kosmetik dalih intoleransi, antipluralis apalagi SARA. Sementara dari kalimat “The preferred choice of President Joko Widodo, he was tipped to be a future national leader” dapat disimpulkan bahwa sang penulis kalimat menggunakan asumsi pilihan presiden Jokowi demi menggiring keyakinan pembaca bahwa Basuki Tjahaja Purnama adalah pemimpin masa depan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Tidak jelas apakah sang penulis berita berani memberitakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama adalah pilihan presiden Jokowi berdasar wawancara langsung dengan presiden Jokowi atau sekedar asumsi wishfull thinking. Di alam demokrasi Orde Reformasi adalah sah mengharapkan setiap warga Indonesia untuk menjadi pemimpin negara, bangsa dan rakyat Indonesia namun seyogianya juga secara demokratis yaitu atas pilihan rakyat bukan pilihan presiden.
Akhirnya dari segenap kesimpulan dapat dimahfumi bahwa media asing bukan media Indonesia memang tidak mengenal mazhab jurnalisme tabayyun. [***]
Penulis adalah anggota dewan penasehat Serikat Media Siber Indonesia.