Sejak mulai membangun kekuatan ekonominya pada 1965, Korea Selatan memilih strategi inward looking. Mereka tidak membiarkan arus deras investasi asing masuk. Kebijakan tersebut membuat negeri Moon Jae-in itu mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada paruh dekade 90-an.

Negeri Ginseng itu memproteksi industri domestik lewat tarif dan berbagai restriksi import, sebelum menempuh diversifikasi industri menuju kompetisi import. RRC juga baru membuka diri dan masuk ke dalam ranah persaingan global pada 1980, setelah berdikari secara ekonomi. Langkah Korea Selatan dan RRC itu mengingatkan kita pada sikap Soekarno.

Ketika masih berkuasa, Soekarno tidak begitu familiar terhadap investasi asing. Tanpa kontrol ketat negara, investasi asing akan menggerus modal domestik yang tumbuh lewat UMKM.

Padahal, 90% pelaku usaha dalam negeri adalah UMKM yang mampu menyedot 55 juta tenaga kerja, sementara perusahaan-perusahaan besar yang merupakan kepanjangan tangan kaum kapitalis hanya menampung 2% tenaga kerja.

Ironisnya, hari ini, pemerintah kita memilih strategi outward looking dan bertindak ugal-ugalan. Akibatnya, modal domestik minim, pasar domestik tak terkuasai, dari lini hulu ke lini hilir lemah, lini produksi-distribusi-konsumsi barang/jasa rapuh.

Reformasi bikinan Barat dan antek-anteknya memaksa kita untuk menempuh liberalisasi ekonomi yang dibarengi dengan liberalisasi politik di waktu bersamaan, persis seperti yang dilakukan Gorbachev di Uni Soviet, hingga membuat kita kehilangan kedaulatan di banyak sektor. Kita dijajah oleh America Connection.

Kita juga diperbudak oleh Jaringan Tirai Bambu. Hari ini, kita tak lebih dari kacung, jongos dan pesuruh bagi bangsa-bangsa asing. Maka, diperlukan jalan baru untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ini. Jalan baru itu merupakan kontra skema Reformasi. Jalan baru itu antitesa Reformasi.

Jalan baru itu akan mengambil posisi diametral terhadap agenda-agenda gelap Reformasi. Jika Reformasi identik dengan liberalisasi, jalan baru itu mewakili deliberalisasi. Jalan baru itu bernama Rekonstruksi Total.

Negeri ini sudah dihancurleburkan oleh Reformasi yang kebablasen. Tak ada jalan lain selain merekonstruksinya (membangunnya kembali) secara total. Tentu butuh ongkos untuk itu. Sebagai bagian dari resiko sejarah, biaya pembangunan tersebut harus ditanggung-renteng dan menjadi beban kolektif bangsa.

Meskipun harga yang harus dibayar bangsa ini untuk Rekonstruksi Total dan 8 Program Aksi Transformasi Bangsa (Rencana Transformasi Nasional 2019) amat mahal, namun langkah strategis dan taktis tersebut akan membuka jalan bagi pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan.

Pada akhirnya, kita harus berani menentukan titik berangkat bersama bangsa agar mampu mencapai terminus ad quem (titik tuju) perjalanan panjang sejarah bangsa sebagaimana sudah ditetapkan oleh founding fathers bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Menurut hikmat saya, titik berangkat bersama bangsa itu adalah Rekonstruksi Total.

-NP