OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Asian Games kali ini beda. Selain sebagai penyelenggara, Indonesia meraih prestasi jauh di atas yang ditargetkan. Target enam belas besar, sudah masuk empat besar. Masih berpeluang jadi urutan ketiga, menggeser Korea Selatan. Luar biasa.
Terlepas ada protes subyektif dari Presiden Federasi Pencak Silat Asia, Sheik Alauddin Yacoob Marican. Begitulah kalau presiden merangkap jadi manajer atlet. Bukan berpikir bagaimana membenahi, tapi malah protes, karena atlet Singapura kalah.
Prestasi pencak silat Indonesia di Asian Games 2018 sangat layak untuk diapresiasi. Para atlet dan pelatihnya. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia, juga menteri olahraganya. Jempol empat tak berlebihan untuk diacungkan kepada mereka. Super Keren.
Terutama para atlet pencak silat. 14 emas telah disumbangkan cabang pencak silat dari keseluruhan 30 emas yang diperoleh. (29/8). Kejuaraan pencak silat mendominasi perolehan emas untuk Indonesia di Asian Games kali ini. Siapa dulu dong ketua umum PB Ikatan Pencak Silatnya? Prabowo gitu. Kata para pendukung Prabowo. Pasti bangga.
Siapa dulu menteri olahraganya? Nahrowi loh, kader PKB. Seloroh anak buahnya Muhaimin. Yang harus diapresiasi justru presidennya. Jokowi gitu loh. Kata Jokowers.
Pada pertandingan hari Rabu, 29 Agustus, Prabowo hadir. Jokowi juga ikut hadir. Sebagai penonton pertandingan pencak silat. Ada momen dramatis. Setidaknya menurut media dan medsos. Saat usai Hanifan Yudani Kusumah memenangkan pertandingan, ia naik ke tribun, mendekat, menyalami dan merangkul Prabowo dan Jokowi. Keduanya dikumpulkan dalam satu pelukan Hanifan.
Siang hari itu juga, foto rangkulan Prabowo-Jokowi viral. Masif menyebar di semua medsos. Jadi framing berita di media mainstream. Prabowo-Jokowi bersatu. Olahraga telah menyatukan dua tokoh politik yang sedang adu kuat di pilpres. Penonton tepuk tangan. Rakyat Indonesia gembira.
Secara moral, rangkulan Prabowo-Jakowi dipersepsi sebagai simbol persatuan dan kedamaian. 1000% benar dan harus didukung seluruh rakyat Indonesia. Momentum seperti ini harus selalu dirawat dan dijaga. Pilihan politik boleh beda, tapi persaudaraan harus tetap dijaga.
Banyak pihak berharap, rangkulan Prabowo-Jokowi bisa meredam kegaduhan para pendukungnya. Mengurai keterbelahan sosial-politik rakyat yang selama ini terjadi. Jika dua tokoh ini berdamai, buat apa para pendukung adu otot? Begitulah kira-kira pelajaran dan pesannya.
Bagi pengamat politik, kehadiran Jokowi tepat jika dilihat sebagai manuver. Jokowi hadir di panggung Prabowo. Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo punya momentum besar. Para atletnya menyumbang emas terbesar dari semua perolehan emas atlet Indonesia. Nyaris separo. Ini prestasi yang belum pernah diperoleh oleh cabang olahraga apapun di Indonesia. Jadi, jika ini dianggap sebagai prestasi terbaik untuk Prabowo, publik pasti mengaminkan. Jadi bukti prestasi Prabowo sebagai calon presiden. Ini layak jadi panggung Prabowo yang bisa dikapitalisasi buat pilpres 2019.
Di saat Prabowo harus memanen hasil prestasi para atletnya itu, Jokowi datang. Tepat waktu. Tidak sendirian, tapi bersama Megawati, Jusuf Kalla (JK) dan Puan Maharani. Kok bisa bareng dan kompak begitu? Pertanyaan ini layak muncul dalam analisis dan perspektif politik.
Sengajakah? Dalam politik tidak ada yang tak disengaja. Selalu ada design yang direncanakan. Hadirnya Jokowi, Megawati, JK dan Puan Maharani di tempat dan waktu yang sama layak menjadi obyek dan konsumsi bagi analisis politis. Bukankah Jokowi itu presiden, dan Puan Maharani itu Menkokesra? Bukankah keduanya juga beberapa kali hadir di sejumlah pertandingan? Bahkan menjadi pihak yang menyerahkan hadiah? Betul sekali. Fakta itu tak bisa dibantah.
Jusuf Kalla? Bukankah ia wakil presiden? Wajar kalau dia hadir. Soal wajar, kehadiran JK sangat wajar sebagai wakil presiden. Pertanyaannya, apakah sebelumnya JK juga hadir di pertandingan yang lain? Apakah JK juga menemani Jokowi untuk nonton pertandingan yang lain?
Yang unik adalah kehadiran Megawati. Ketua partai. Bukan pejabat tinggi negara. Kehadirannya bersama Jokowi, JK, Puan Maharani. Ini memberi peluang tafsir bagi analisis politik.
Kehadiran rombongan Jokowi-Mega setidaknya dapat mengurangi fokus media ke Prabowo sebagai tokoh tunggal di panggung emas cabang olahraga pencak silat. Prabowo yang sedianya akan menjadi pemain tunggal, terurai info dan beritanya dengan kehadiran Jokowi beserta rombongannya.
Soal begini, Jokowi jagonya. Teramat sangat cerdas jika berkaitan dengan momentum branding. Publik mengaminkan jika disebut Jokowi adalah bapak pencitraan yang sukses. Dan politik, mutlak butuh pencitraan. Baik dan hebatnya kayak apa, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Yusril Ihza Mahendra, jika tak tepat melakukan pencitraan, habis ditelan zaman.
Di area pencak silat, Jokowi ikut menikmati panggung. Fifty-Fifty sama Prabowo. Yang satu ketua umum PB Ikatan Pencak Silat Indonesia. Satunya lagi presiden Republik Indonesia yang mengkalim prestasi para atlet itu tak lepas dari andilnya Inpres No 95 Tahun 2017 yang dibuat 20 Oktober 2017.
Apapun cerita dan analisis politiknya, pencak silat telah memberi panggung kepada Prabowo yang selama ini nyaris tak punya panggung. Kekalahan elektabilitas Prabowo dari Jokowi, karena Jokowi punya banyak panggung, sementara Prabowo tidak. Pencak silat setidaknya menjadi awal Prabowo punya kesempatan serta peluang berebut panggung dan momentum dengan Jokowi untuk pilpres 2019.***