Jelang pilkada DKI Jakarta antara Anies versus Ahok, saya menggambarkan perjuangan Anies dan kita para pendukungnya seperti Pangeran Fatahila merebut Sunda Kelapa yang kelak jadi Jayakarta pada 1527.
Kawan saya dari Yogyakarta mbak Dwi Setiyani lantas tanya lha Yogya gimana untuk menggambarkan perjuangan Prabowo Sandi di Jawa Tengah. Tiada lain adalah Pangeran Ontowiryo Diponegoro.
Lebih dari sekadar fakta sejarah bahwa Prabowo adalah garis turunan Temenggung Kertanegara IV, ada fakta sejarah yang kerap luput dari amatan sejarawan kecuali mas Peter Carey yang asli Inggris itu. Bahwa melalui momentum Perang Jawa Diponegoro 1825-1830, berbagai sekat sekat psikologis dan politis yang memecahbelah pusat pusat kekuasaan Jawa, justru menyatu kembali.
Melalui Perang Jawa di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro, dua alas kekuatan yang menyatukan antara pemimpin dan rakyat Jawa tersambung kembali melalui persekutuan strategis Umaro(Diponegoro dan para kerabat kraton yang di luar pengaruh Sultan HB IV kala itu) dengan para ulama yang berbasis Kajoran Tembayat(Magelang, Tegalrejo, Klaten, Bagelen, Gunung Kidul, Wonosobo, Cilacap, Purwokerto,Pekalongan dan Purworejo).
Melalui momentum Perang Jawa, Diponegoro telah memulihkan kembali luka sejarah para ulama dan kerabatnya akibat ulah leluhurnya yaitu Amangkurat I menyingkirkan peran ulama sebagai pembimbing kekuasaan seperti tradisi kesultanan Demak dan Pajang. Dan bahkan kemudian menghukum mati sekitar 6000 ulama.
Kedua, terbelahnya Solo dan Yogyakarta melalui akal bulus Belanda dalam perjanjian Giyanti 1755, perang Jawa Diponegoro telah menyatukan kembali ikatan batin kedua sentra kekuatan Jawa itu. Dengan dukungan diam-diam Pakubuwono VI yang sangat erat hubungannya dengan jejaring ulama yang berbasis di Jawa Tengah bagian Selatan.
Fakta sejarah yang kerap luput dari penglihatan para sejarawan meski datanya terbentang di depan kita, bahwa meskipun Diponegoro putra kandung Sultan HB III yang berarti garis turunan langsung Pangeran Mangkubumi atau Sultan HB I, nanun tidak dibesarkan dalam lingkungan kraton. Melainkan diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng istri Sultan HB I yang berdarah ulama Madura.
Fakta sejarah ini menjelaskan watak anomali Diponegoro sebagai orang Jawa maupun sebagai bangsawan Jawa. Pengaruh geografis Tegalrejo yang berbasis pertanian dan kuatnta atmosfer pengaruh ulama, telah membentuk watak Diponegoro yang berbeda dengan para saudaranya yang hidup di kraton. Dengan kata lain Diponegoro merupakan anomali. Anomali biasanya merupakan sosok yang ditakdirkan membuat sejarah baru. Atau bisa juga mengubah sejarah.
Prabowo Subianto adalah anomali. Ini yang orang sering luput atau anggap bukan hal penting. Sebagai tentara yang dubesarkan di era orde baru, Prabowo tidak ber-DNA orba seperti umumnya jendral jendral produk orba lainnya. Prabowo menantu Suharto, tapi Pak Harto pun tahu Prabowo samasekali tidak punya DNA Cendana. Lagi lagi ini sebuah anomali.
Ya. Sosok anomali Prabowo seperti juga halnya Diponegoro, keduanyatelah melahirkan sebuah fenomena baru pada zamannya masing masing namun serupa. Keduanya telah menyadarkan rakyat Jawa bahwa martabat danbharkat orang Jawa ada pada nilai nilai Jawa itu sendiri yang bersenyawa dengan kekuatan spiritual tasawuf Islam. Bukan bertumpu pada keangkuhan kekuasaan Jawa yang berpusat di Kraton.
Maka Perang Jawa Diponegoro harus mengilhami Perang Rakyat Semesta Prabowo Sandi dalam merebut kembali geopolitik Jawa Tengah.
Inilah mula pertama kesadaran nasional terpupuk. Justru di era inilah gelombang nasionalisme dan islam sejatinya bersenyawa. Dan mengilhami perjuangan perjuangan serupa di belahan lain bumi nusantara. Banten. Sumatra Barat dan Selata. Aceh dan sebagainya.
ditulis oleh
Mas Hendrajit