By Asyari Usman

Sekitar awal Maret 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa orang yang berpenghasilan Rp11,000 (sebelas ribu rupiah) per hari tidak termasuk miskin. Klaim BPS ini disambut kritik keras dari berbagai pihak. Juga mengundang polemik. Klaim ini dianggap keterlaluan. Termasuk terlalu tega.

Hari ini tadi (28/2/2019), saya teringat kembali klaim 11 ribu sehari itu. Bukan karena ingin menyulut lagi polemiknya. Melainkan sekedar ingin menghiasi “temuan penting” saya tentang cara mencari makan siang murah di Jakarta. Maklum, sebagai orang udikan, saya merasa makan siang seharga Rp125,000 atau bahkan 200 ribu, hampir pasti akan menggoreskan penyesalan seumur hidup.

Nah, apa “temuan penting” tentang makan siang murah itu?

Angkanya persis sama seperti klaim BPS tadi, yaitu Rp11,000 juga. Bedanya, angka BPS dikatakan cukup untuk hidup sehari sedangkan temua saya itu hanya cukup untuk sekali makan saja.

Bagi saya, makan siang temuan saya ini sangat murah. Sebab, lokasi makannya di Lapangan Banteng. Di belantara gedung-gedung hebat, termasuk gedung Pertamina, gedung Kemenag, Masjid Istiqlal, Hotel Borobudur, Cathedral, dll. Saya merasa, mana mungkin lagi bisa makan siang berbiaya Rp11,000 di kawasan ini? Mustahil, bukan?

Faktanya, tidak mustahil. Masih bisa. Jadi, klaim BPS itu “setengah” realistis. Maksudnya, 11 ribu sehari sebetulnya hanya untuk hidup “setengah” hari versi Lapangan Banteng.

Terus, apa menu makan siang 11 ribu di Lapangan Banteng? Bagi orang Jakarta, tampaknya bisa diduga. Atau, bisa juga sulit membayangkannya.

Sangat sederhana tapi bisa menyambung hidup. Sederhana penyajiannya. Sederhana juga cara menyantapnya.

Yaitu, mie cawan (cup noodle) instan yang disirami air panas termos (Rp8,000), plus kopi saset yang juga dengan air panas termos (Rp3,000). Alhamdulillah, bisa beratahan sampai jam makan berikutnya.

Mohon maaf kalau cerita ini lebih cocok dimuat di buku saku BPS ketimbang untuk makan siang normal. Sebab, cara makan siang murah di Jakarta temuan saya ini, tak mungkin dipraktikkan oleh semua orang. Hanya yang punya nyali tapi tak punya duit, yang bisa melakukannya.

Hampir pasti para eksekutif Pertamina atau para dirjen Kemenag serta para pengelola anggaran besar, tak akan pernah tahu tempat makan yang saya singgahi itu. Atau, kalau pun mereka tahu, kelihatannya mereka tak akan berani bersantap siang di situ. Wallahu a’lam.

Saya sendiri menemukan lokasi makan di pojok Lapangan Banteng itu sewaktu berjalan kaki dari Istiqlal menelusuri jalan cantik Pak Anies Baswedan menuju arah gedung Pertamina. Tapi, jangan menyangka saya sedang mengurus harga Avtur supaya tiket pesawat bisa murah. Tidak sama sekali.

Ok. Selamat mencoba. Siapa tahu, kalau para pegawai “berani” makan siang versi Lapangan Banteng, bisa jadi Pak Jokowi tak perlu lagi memberikan gaji ke-13 atau THR. Sehingga bisa digunakan untuk proyek infrastruktur yang sangat beliau sukai.

(Penulis adalah wartawan senior)