by Tarmidzi Yusuf
Ada dua kerusuhan besar pada awal era reformasi. Kerusuhan rasial ini pertama terjadi pada bulan Desember 1998 di Poso Sulawesi Tengah. Sedangkan kerusuhan rasial kedua terjadi di Ambon Maluku tahun 1999. Dua kerusuhan rasial ini berubah menjadi konflik agama.
Konflik Poso
Peristiwa Poso melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Kelompok Putih lawan kelompok merah. Kelompok Putih representasi dari kelompok Islam yang terdiri-dari beberapa Mujahidin, Laskar Jihad Pimpinan Ustadz Ja’far Umar Thalib termasuk milisi dan organisasi lokal. Sedangkan kelompok Kristen disebut kelompok merah yang terdiri-dari; Laskar Kristus dan Brigade Manguni.
Kerusuhan ini umumnya terbagi menjadi beberapa fase. Fase pertama berlangsung pada bulan Desember 1998, kemudian berlanjut pada bulan April 2000, dan yang terbesar terjadi pada bulan Mei hingga Juni 2000.
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah penduduknya majemuk. Selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis, sunda dan sebagainya.
Dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelompok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso mayoritas Islam, namun setelah pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, didominasi oleh agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam masuk lebih dulu ke Sulawesi khususnya Poso. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Konflik Ambon
Karena latar belakang dan cara pandang yang berbeda, kesalahpahaman sering muncul dan menjadi akar dari sebuah konflik yang ada. Salah satu konflik yang muncul di Indonesia akibat kesalahpahaman ini adalah konflik Ambon yang dikenal sebagai konflik berdarah dengan menewaskan hampir 5.000 hingga 9.000 nyawa dan berlangsung dari tahun 1999.
Berawal dari konflik personal menjadi perang antar desa. Awal dari perang Ambon ini bermula dengan permasalahan yang cukup sederhana, dimana salah satu pemuda Muslim dari keturunan Bugis ingin meminta uang kepada pemuda Kristen dari Mardika. Pemuda keturunan Bugis tersebut sudah dikenal sebagai preman di kawasan tersebut dan pemuda Mardika bekerja sebagai supir angkot. Ketika sudah berkali-kali dimintai uang dan pemuda Mardika tidak mau memberi, keduanya pun bersulut amarah hingga berakhir dengan pertikaian adu pukul. Hal ini berujung hingga pemuda mardika membawa parang untuk membunuh.
Preman tersebut yang berhasil kabur kemudian berkata kepada warganya bahwa ia akan dibunuh oleh orang Kristen. Tanpa berpikir panjang, lantas warga marah atas kejadian tersebut dan mulai menyerang desa Mardika dengan parang, tombak, dan senjata tajam lainnya. Tidak hanya itu, ratusan rumah di desa Mardika pun dibakar beserta Gereja Silale. Atas terbakarnya Gereja Silale, warga dari kampung-kampung sekitar Mardika marah dan ikut menyerang kembali warga Muslim. Akibat konflik SARA ini, banyak warga terluka, ratusan rumah hancur, fasilitas umum, hingga gereja setempat. Konflik ini juga merambat ke beberapa daerah hingga pada akhirnya, kota Ambon menjadi porak poranda. Hal ini menyebabkan perpecahan antara daerah kawasan Muslim dengan kawasan Kristen.
Konflik Ambon juga dijadikan isu oleh Front Kedaulatan Maluku (FKM) pewaris Republik Maluku Selatan (RMS) untuk menuntut kemerdekaan.
Konflik Papua
Papua Barat merupakan pemekaran dari Papua yang dulunya bernama Irian Jaya merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Pemekaran Papua Barat berdasarkan UU No 45 tahun 1999.
Berdasarkan data demografi, populasi penduduk asli Papua Barat 51,48% dan 48,52% pendatang yang berasal dari Jawa, Sulawesi, Bugis, Makassar dan suku lainnya.
Mayoritas penduduk Papua Barat beragama Kristen Protestan 60,05%. Islam 31,21% sebagai agama kedua terbesar. Sementara 8,36% Katolik, Budha 0,09%, Hindu 0,08% dan lainnya 0,01%.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso, Ambon dan Papua. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso dan Ambon. Kemajemukan Poso, Ambon dan Papua Barat yang terdiri-dari beberapa etnis dan agama, bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengadu domba melalui isu-isu sektarian.
Insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya (16/8) dipicu oleh masalah sepele. Desas-desus tentang lambang negara yang belum terkonfirmasi kebenarannya, akhirnya berkembang menjadi isu rasis. 3 hari pasca insiden tersebut, Papua terbakar dari Manokwari (19/8) sampai hari ini meluas hingga Fak Fak Papua Barat (21/8). Bahkan telah meluas hingga Makassar walaupun sempat di redam oleh pejabat daerah.
Kerusuhan Papua alhamdulillah tidak meluas menjadi kerusuhan agama. Walaupun provokasi dengan menghancurkan Kantor DPW PPP dan upaya penyerangan masjid yang sempat digagalkan oleh Jamaah Masjid tidak menyulut kerusuhan lebih besar lagi.
Seperti ada “pembiaran” kerusuhan Papua pecah. Aparat keamanan nyaris tak berdaya menghadapi brutalnya massa. Patut diduga ada “operasi senyap” dalam tempo 3 hari pasca insiden Surabaya dapat membakar Papua. Bahkan isu Papua Merdeka jadi menguat kembali.
Konflik Poso, Ambon dan Papua dipicu oleh masalah sepele. Masih isu. Mudahnya warga terprovokasi oleh isu yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Bisa jadi juga ada “operasi senyap” yang dimainkan oleh elit politik tertentu. Kecurigaan ini sangat beralasan karena dimana aparat keamanan ketika konflik ini meledak.
Masih menurut desas-desus, konflik Poso dan Ambon ditunggangi oleh Elit Jakarta yang tidak puas atas kebijakan Presiden kala itu, BJ. Habibie dan Gus Dur. Ketidakpuasan sebagian elit Jakarta karena pengaruhnya mulai berkurang sejak akhir era Soeharto. Apalagi isu pelanggaran HAM berat berhembus kencang akan dibuka pada era Gus Dur. Besarnya opini rakyat menyebabkan seorang Menteri mengundurkan diri kurang dari setahun setelah menjabat. Walaupun berhembus isu juga kalau Menteri tersebut dipecat oleh Gus Dur. Bahkan isu kudeta terhadap Gus Dur kala itu jadi rumor yang ramai diperbincangkan.
Demikian pula dengan konflik Papua yang meletus 2 hari silam. Ada kesamaan konflik Poso, Ambon dan Papua terjadi, yaitu mudahnya massa terprovokasi oleh informasi yang belum tentu benar. Isu rasis dan agama dimainkan. Patut diduga, ada operasi senyap yang dilakukan kelompok elit tertentu di Jakarta untuk menyulut kerusuhan.
Apalagi isu tentang akan terpentalnya elit politik Jakarta dari posisi strategis kabinet Jokowi jilid dua. Tidak menutup kemungkinan melihat pola konflik Poso, Ambon dan Papua dilakukan oleh kelompok politik yang sama sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan politik di belakang Jokowi; Megawati, JK dan BG. Konon Prabowo juga kini merapat bersama Megawati.
Karena ada rumor elit Jakarta tersebut akan dibuka kasusnya. Mulai dari skandal korupsi hingga pelanggaran HAM berat di beberapa wilayah Indonesia. Elit tersebut ketar-ketir akan dihabisi setelah berkuasa dibelakang layar hampir seperempat abad.
Saya yakin BG sebagai Kepala BIN punya informasi akurat siapa elit Jakarta yang “bermain” di Papua. Kita mendorong Kapolri untuk mengungkap dalang kerusuhan Papua dan membawanya ke meja hijau. Pelakunya harus diadili dan dihukum seberat-beratnya karena telah menjadikan rakyat sebagai korban ambisi politik dan kekuasaan elit tersebut. Jenderal Tito Karnavian, kami dibelakang Anda untuk menangkap dalang kerusuhan Papua. Agar tidak ada lagi elit Jakarta berkonflik dengan membawa masalahnya ke daerah dengan mengorbankan rakyat yang tak berdosa.
Bandung, 21 Dzulhijjah 1440/22 Agustus 2019.